Demikian rindangnya sejarah Aceh, dan peran perempuan Aceh
dalam lingkaran sejarah khususnya pasukan inong balee yang telah menyisakan
monumen sejarahnya di Aceh.
Kerajaan Aceh Darussalam
adalah kerajaan Islam yang berdiri setelah beberapa kerajaan kecil seperti
kerajaan Samudra Pasai, kerajaan Pereulak, kerajaan Pedir yang bergabung
dibawah Kerajaan Aceh Darussalam. Keberadaan kerajaaan Aceh Darussalam dimulai
oleh Sultan Ali Mughayat Syah sebagai pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.
Setelah berdirinya kerajaan ini maka sultan Alaidin Mughayat Syah
mulai memperkuat dan memperluas kekuasaan kerajaan Aceh Darussalam dengan
menyerang Portugis di kerajaan Daya (Aceh Jaya sekarang), berikut menyerang
Portugis yang ada di kerajaan Pedir (Kabupaten Pidie sekarang), dan setelah itu
menyerang Portugis yang ada di kerajaan Samudra Pasai (Geudong Aceh Utara
sekarang), berikutnya ke kerajaan Pereulak, kerajaan Beuna, dan kerajan Aru di
Sumatra Timur serta malaka di Semenajung Malaysia.
Kerajaan Aceh Darussalam
mencapai masa kejayaannya pada masa kepemimpinan sultan Iskandar Muda, namun
demikian ada peristiwa menarik pada masa sultan Alauddin Riayat syah
Al-Mukammil (yang memerintah Kerajaan Aceh Darussalam mulai 997-1011 H atau
1589-1604 M) dimana pada masa sultan Alauddin Riayat syah Al-Mukammil terjadi
pertempuran antara armada selat malaka Aceh dengan armada Portugis. Didalam
pertempuran tersebut sultan Alauddin Riayat syah Al-Mukammil memimpin sendiri
armadanya dengan dikawal oleh dua orang laksamana.
Pertempuran teluk Haru
berakhir dengan hancurnya armada Portugis, sementara dua orang laksamana Aceh
bersama seribu prajuritnya syahid, Kemenangan armada Selat Malaka Aceh atas
armada Portugis disambut gembira oleh seluruh masyarakat Kerajaan Aceh
Darussalam, namun demikian laksamana Malahayati merasa geram dan marah kepada
Portugis mestipun peperangan dimenangkan oleh armada Aceh. Laksaman Malahayati
adalah istri salah satu laksamana yang syahid dalam perang laut Haru tersebut.
Laksamana Malahayati diangkat oleh sultan Alauddin Riayat syah Al-Mukammil
menjadi komandan protokol istana Darud Dunia.
Karena geram dan tidak
senang terhadap Portugis kemudian Malahayati memohon kepada sultan Alauddin
Riayat syah Al-Mukammil agar membentuk sebuah armada Aceh yang
prajurit–prajuritnya adalah para wanita janda, dimana suami mereka telah syahid
dalam perang teluk haru, permohonan Laksamana Malahayati dikabulkan oleh sultan
Alauddin Riayat syah Al-Mukammil dan laksamana Malahayati diangkat sebagai
panglima armada tersebut. Armada ini kemudian disebut dengan sebutan armada
Inong Balee (armada wanita janda) dengan mengambil teluk Krueng Raya sebagai
pangkalan armada.
Bila ditelusuri Keumala
Hayati (Laksamana Malahayati), sewaktu muda pernah mendapat pendidikan militer
pada pusat pendidikan tentara Aceh yang bernama pusat pendidikan Asykar Baital
Makdis. Para instrukturnya, antara lain terdiri dari para perwira Turki Usmani
dalam rangka kerja sama dengan kerajaan Aceh Darussalam.
Malahayati memilih
pendidikan angkatan laut, karena dalam tubuhnya telah mengalir darah prajurit
laut. Ayah dan kakek laksamana Malahayati adalah para prajurit armada perang
laut Aceh. Semangat dan kecintaan laksamana Malahayati terhadap laut Aceh dan
kebenciannya terhadap Portugis serta kematian suaminya dimedan perang Haru
menjadi latar belakang terbentuknya pasukan Inong Balee pada kerajaan Aceh
Darussalam yang dibentuk pada masa sultan Alauddin Riayat Syah Al-Mukammil
melalui izin yang diberikan kepada laksaman Malahayati untuk membentuk armada
perang yang terdiri dari janda-janda yang telah ditinggalkan oleh suami mereka
yang gugur dimedan perang dalam mempertahankan wilayah kerajaan Aceh
Darussalam.
Sebelum armada Inong Balee
turun Ke arena Perang Para pasukan Inong Balee Ini Diberikan Pelatihan Militer,
yang dilatih oleh laksamana Malahayati agar kemudian para Inong Balee ini
menjadi mahir dalam mengunakan senjata dan mampu mengendalikan kapal-kapal
serta memiliki kemampuan fisik yang kuat sehingga menjadikan pasukan ini
menjadi pasukan yang tangguh.
Latihan militer tersebut
diberikan di benteng Inong Balee yang sekarang terletak di Desa Lamreh,
Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar untuk mencapai tempat tersebut kita
harus melintas 1 kilo meter dari jalan krueng raya. Keberadaan benteng Inong
Balee di tepi jurang dan dibawahnya terdapat pantai dengan batuan karang.
Benteng Inong Balee ini juga
berfungsi sebagai benteng pertahanan sekaligus sebagai asrama penampungan para
janda yang suaminya telah gugur dalam pertempuran. Selain itu juga digunakan
sebagai tempat penempatan logistik perang. Dari posisi dan letak benteng Inong Balee
sangatlah strategis sebagai wilayah pertahanan.
Pasukan Inong Balee yang
dibentuk oleh sultan Alauddin Riayat syah Al- Mukammil merupakan armada perang
yang semua personilnya terdiri dari para janda–janda yang ditinggalkan oleh
suaminya, pasukan Inong Balee ini di pimpin oleh laksamana Malahayati.
Nama armada Inong Balee
inilah juga yang kemudian menjadi nama sebuah kesatuan dalam Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) di Aceh yang seluruh anggotanya terdiri dari para
perempuan-perempuan Aceh, Baik yang sudah menikah maupun yang masih gadis.
Setelah terbentuknya armada
Inong Balee yang terdiri dari para janda, maka berikutnya adalah peran armada
ini dalam mempertahankan Kerajaan Aceh Darussalam, armada ini sangat berjasa
dalam menjaga laut Aceh dari penjajahan Portugis yang ingin menguasai wilayah
Aceh dan mengambil kekayaan Aceh dengan langkah pertama yang coba dirintis
yaitu menguasai laut sebagai jalur transportasi pada saat itu.
Salah satu peristiwa yang
mengangkat nama Malahayati adalah peristiwa Houtman bersaudara, Ketangguhan
armada yang dipimpin oleh laksamana Malahayati membuat portugis dan negara
Eropa lainnya risih, karena armada Inong Balee Aceh telah memiliki seratus buah
kapal perang, yang setiap kapal dilengkapi dengan meriam-meriam dan lila-lila.
Kapal terbesar dilengkapi dengan lima meriam. Untuk ukuran zaman itu, armada Inong Balee dipandang sebagai armada yang kuat di selat malaka bahkan di samudra Asia Tenggara, seperti yang di jelaskan oleh Deny Lembard dalam bukunya kerajaan Aceh dizaman Iskandar Muda.
Laksamana Malahayati adalah
anak dari laksamana Mahmud Syah Bin-Laksamana Muhammad Said Syah, bin Sultan
Salahuddin Syah (memerintah Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 936 sampai
dengan 945 H atau 1530 sampai dengan 1539 M).
Kegagahan dan ketangguhan
Malahayati dan armada nya telah terbukti dimana pada tanggal 21 juni 1599 M
pasukan Belanda yang dikepalai oleh Cornelis de houtman dan Frederijk de
houtman, diserbu oleh pasukan Inong Balee karena kedua bersaudara yang memimpin
pasukannya berkhianat terhadap pemerintahan kerajaan Aceh yaitu dengan
menyamarkan kapal perang menjadikannya kapal dagang, oleh sebab itu maka atas
kejelian armada Aceh diketahuilah niat Cornelis de houtman dan Frederijk de
houtman, sehingga armada Inong Balee menyerang pasukan Belanda tersebut.
Akhirnya Cornelis de houtman
mati ditikam oleh laksamana Malahayati dengan rencongnya sedangkan saudaranya
Frederijk de houtman ditawan oleh armada Inong Balee dan diserahkan Kerajaan
Aceh Darussalam. Seorang penulis wanita, Marie van zeggelen, dalam bukunya: Oud
Glorie, antara lain menulis yang diterjemahkan sebagai berikut:
” Dikapal van leeuw telah
dibunuh cornelis de houtman dan anak buahnya oleh laksamana malahayati sendiri,
sementara sekretaris rahasianya menyerang frederijk de houtman dan ditawan nya
serta dibawa kedarat. Davis dan tomkins menderita luka...”
Selain itu di Kerajaan Aceh
Darussalam dikenal juga dengan nama sukey Inong kaway istana atau resimen
wanita pengawal istana yang dibentuk oleh Sultan Muda Ali Riayatsyah V
(Memerintah dalam tahun 1011 sampai dengan tahun 1015 H atau 1604 sampai dengan
tahun 607 M). Semuanya terdiri dari wanita, baik yang masih gadis maupun wanita
muda yang telah bersuami dan sukey ini dipercaya oleh sultan untuk mengawal
kerajaan Darud Dunia.
Hal ini membuktikan bahwa di
Aceh telah adanya suatu penghargaan terhadap perempuan, sehingga perempuan
selalu mengambil andil di dalam perpolitikan Aceh sejak masa Kerajaan Aceh
Darussalam hingga sekarang. Tidak ada perbedaan yang mendasar antara laki-laki
dan perempuan yang ada hanyalah perbedaan bentuk jenis kelamin yang kemudian
membedakan fungsi perempuan dalam kehidupan biologis.
Di dalam rentetan sejarah sering terdengar nama-nama besar para wanita Aceh sebagai orang yang berperan secara langsung maupun tidak langsung dalam berbagi upaya perjuangan hak-hak Aceh, misalkan Tengku Fatimah, Pocut Baren,
Di dalam rentetan sejarah sering terdengar nama-nama besar para wanita Aceh sebagai orang yang berperan secara langsung maupun tidak langsung dalam berbagi upaya perjuangan hak-hak Aceh, misalkan Tengku Fatimah, Pocut Baren,
Tengku Fakinah , Pocut
Meurah Intan, yang oleh kita perlu mengabadikan semangat perlawanan mereka,
Mereka adalah beberapa wanita Aceh yang memperjuangkan Aceh dan masih banyak
perempuan lainnya yang setia akan kemerdekaan Aceh dan kejayaan Aceh sebagai
negara yang berdaulat.
Tradisi militer perempuan Aceh kemudian terus berkembang
hingga sultan Iskandar Muda memerintah Kerajaan Aceh Darussalam Aceh (1607-1636
M), sehingga sampai pada tahun 1873 Belanda memaklumatkan perang dengan kerajan
Aceh Darussalam, patriotisme perempuan Aceh yang begitu besar juga terlihat
pada masa perang dengan Belanda.
0 comments:
Posting Komentar