Ramo-ramo sikumbang jati,Katik endah pulang bakudo,
Patah tumbuah hilang baganti, Pusako lamo baitu pulo
Patah tumbuah hilang baganti, Pusako lamo baitu pulo
“ saluruih ka ateh, saluruih
kabawah nan salingkuang cupak adat, nan sapayuang sapatagak”
Stelsel matrilineal dengan system kehidupan yang komunal,
menempatkan perkawinan menjadi urusan kerabat, mulai dari :
a. Urusan mencari pasangan
b. Membuat persetujuan dan pelamaran
a. Urusan mencari pasangan
b. Membuat persetujuan dan pelamaran
c. Pertunangan – batimbang tando
d. Perhelatan perkawinan – baralek
d. Perhelatan perkawinan – baralek
Hal
ini didasarkan kepada falsafah Minang yang menganggap bahwa manusia dan
individu hidup bersama-sama, sehingga masalah rumah tangga menjadi urusan
bersama pula. Masalah pribadi sepasang anak manusia yang akan membangun
mahligai rumah tangga tidak terlepas dari pengelolaan secara bersama.
Pola perkawinan bersifat eksogami, dimana persatuan sepasang suami dan isteri
tidak menjadi lebur dalam satu rumah tangga akan tetapi masing-masing pasangan
suami isteri itu tetap berada dalam kaum kerabatnya masing-masing. Didalam
struktur eksogami, setiap orang adalah warga kaum dan suku mereka
masing-masing, meskipun telah diikat dalam perkawinan dan telah beranak pinak
pula.
Dalam
stelsel matrilineal, anak yang lahir akibat perkawinan menjadi anggota kaum
sang ibu.
Mengapa demikian ?
Karena
secara kodrat alam, kelahiran makhluk didunia ini mengacu pada induknya.
Seorang ayah tidak perlu bertanggung jawab kepada kehidupan anaknya, karena telah ada saudara laki-laki ibunya yang akan membimbingnya dalam kehidupan masa depannya.
Bagaimanakah sesungguhnya kondisi perkawinan eksogami yang serupa ini. Tidakkah terjadi sengketa rumah tangga dalam kehidupan serupa ini. Sekilas kehidupan serupa ini menunjukkan perkawinan yang semu. Namun sesungguhnya tidak…! Karena kehidupan perkawinan yang bersifat eksogami ini, ternyata mampu mempertahankan keharmonisan rumah tangga, yang disebabkan bahwa perkawinan dalam adat dan budaya Minang adalah perkawinan keluarga. Perkawinan itu memiliki tata dan cara yang sesuai dengan falsafah yang dianutnya.
Perkawinan eksogami meletakkan para isteri pada status yang sama dengan suaminya. Seorang wanita Minang ditengah system matriarkat serta pola hidup komunal menyebabkan mereka tidak tergantung pada suaminya. Seorang suami adalah tamu dirumah keluarga isterinya, ia dimanja dan dihormati, namun ia bukanlah pemegang kuasa atas anak dan isterinya. Jika ia ingin disanjung dan dihormati, maka seorang suami harus pandai-padai menyesuaikan diri dikeluarga isterinya.
Seorang ayah tidak perlu bertanggung jawab kepada kehidupan anaknya, karena telah ada saudara laki-laki ibunya yang akan membimbingnya dalam kehidupan masa depannya.
Bagaimanakah sesungguhnya kondisi perkawinan eksogami yang serupa ini. Tidakkah terjadi sengketa rumah tangga dalam kehidupan serupa ini. Sekilas kehidupan serupa ini menunjukkan perkawinan yang semu. Namun sesungguhnya tidak…! Karena kehidupan perkawinan yang bersifat eksogami ini, ternyata mampu mempertahankan keharmonisan rumah tangga, yang disebabkan bahwa perkawinan dalam adat dan budaya Minang adalah perkawinan keluarga. Perkawinan itu memiliki tata dan cara yang sesuai dengan falsafah yang dianutnya.
Perkawinan eksogami meletakkan para isteri pada status yang sama dengan suaminya. Seorang wanita Minang ditengah system matriarkat serta pola hidup komunal menyebabkan mereka tidak tergantung pada suaminya. Seorang suami adalah tamu dirumah keluarga isterinya, ia dimanja dan dihormati, namun ia bukanlah pemegang kuasa atas anak dan isterinya. Jika ia ingin disanjung dan dihormati, maka seorang suami harus pandai-padai menyesuaikan diri dikeluarga isterinya.
Perkawinan
Ideal
Perkawinan
ideal dilakukan, apabila terjadi perkawinan antara keluarga dekat, seperti
perkawinan antara anak dan kemenakan. Perkawinan ini lazim disebut ;
a. perkawinan pulang kemamak, yaitu mengawini anak mamak, atau perkawinan pulang kebako, yaitu
a. perkawinan pulang kemamak, yaitu mengawini anak mamak, atau perkawinan pulang kebako, yaitu
mengawini kemenakan ayah. Perkawinan ini
dilaksanakan dengan tujuan untuk mengawetkan
hubungan suami isteri itu agar tidak terganggu
dengan permasalahan yang mungkin timbul, karena adanya ketidak serasian antar
kerabat. Ekses-ekses yang timbul didalam keluarga yang berkaitan dengan harta
pusaka dapat dihindarkan.
Pola perkawinan serupa ini, merupakan manifestasi dari pepatah yang berbunyi ; anak dipangku- kemenakan dibimbing.
Pola perkawinan serupa ini, merupakan manifestasi dari pepatah yang berbunyi ; anak dipangku- kemenakan dibimbing.
b. Perkawinan ambil
mengambil; artinya kakak beradik laki-laki dan wanita A menikah secara bersilang
dengan kakak – beradik wanita B.
Tujuan perkawinan ambil mengambil ini, ialah untuk mempererat hubungan kekerabatan ipar besan, juga untuk memperoleh suami yang pantas bagi anak kemenakan, tanpa perlu menyelidiki asal usul calon pasangan suami isteri itu.
Tujuan perkawinan ambil mengambil ini, ialah untuk mempererat hubungan kekerabatan ipar besan, juga untuk memperoleh suami yang pantas bagi anak kemenakan, tanpa perlu menyelidiki asal usul calon pasangan suami isteri itu.
c.
Perkawinan awak sama awak, yang dilakukan antar orang sekorong, sekampung, se
nagari atau se
minangkabau. Perkawinan seperti ini dikatakan
ideal karena untuk mengukuhkan lembaga perkawinan
itu,
dimana sesungguhnya struktur perkawinan yang eksogami ini, lebih mudah rapuh
karena seorang
suami
tidak memiliki beban dan tanggung jawab kepada anak dan isterinya. Lain halnya
jika pola awak
samo
awak, maka tambah dekat hubungan awaknya, tambah kukuhlah hubungan perkawinan
itu.
Perkawinan yang kurang ideal ialah apabila
salah satu pasangan berasal dari Non minang khususnya dengan wanita non minang.
Pria minang yang menikah seperti ini , dianggap merusak struktur adat Minang,
karena ;
1. anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, bukanlah suku Minangkabau.
2. Anak yang dilahirkan akan menjadi beban bagi pria minang itu, karena seorang pria minang
1. anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, bukanlah suku Minangkabau.
2. Anak yang dilahirkan akan menjadi beban bagi pria minang itu, karena seorang pria minang
bertugas
demi kepentingan bagi sanak saudaranya, kaumnya, dan nagarinya.
3. Kehadiran isteri orang luar Minangkabau dianggap akan menjadi beban dalam seluruh keluarganya.
3. Kehadiran isteri orang luar Minangkabau dianggap akan menjadi beban dalam seluruh keluarganya.
Perkawinan
Pantang
Pantangan
perkawinan ini telah bersifat universal, dimana pun terjadi, misalnya
perkawinan pantang dan perkawinan sumbang, yaitu :
a. Perkawinan pantang ialah ; perkawinan yang merusak sitem adat mereka, yaitu perkawinan yang setali
a. Perkawinan pantang ialah ; perkawinan yang merusak sitem adat mereka, yaitu perkawinan yang setali
darah
menurut stelsel matrilini.
b. Perkawinan
sumbang, ialah perkawinan yang dapat merusak kerukunan social masyarakat, yaitu
:
1. mengawini kaum kerabat, saudara dekat, tetangga yang telah diceraikan,
2. memper-madukan wanita sekerabat,
3. mengawini orang yang tengah dalam pertunangan.
4. Mengawini anak tiri saudara kandungnya.
1. mengawini kaum kerabat, saudara dekat, tetangga yang telah diceraikan,
2. memper-madukan wanita sekerabat,
3. mengawini orang yang tengah dalam pertunangan.
4. Mengawini anak tiri saudara kandungnya.
Ragam
Perkawinan
Dalam
proses terjadi perkawinan, terdapat aneka ragam perkawinan yang berlangsung
pada kehidupan masyarakat, yaitu :
a. Perkawinan ganti lapik :
Perkawinan yang dilakukan antara seorang laki-laki atau wanita yang pasangan diantara keduanya
a. Perkawinan ganti lapik :
Perkawinan yang dilakukan antara seorang laki-laki atau wanita yang pasangan diantara keduanya
telah meninggal dunia. Baik laki-laki maupun
wanita yang akan dinikahkan itu, merupakan saudara
laki-laki/saudara wanita itu yang telah
meninggal dunia itu.
Maksudnya demi keberlangsungan persaudaraan antara kerabat pasangan suami isteri itu sebelumnya dengan anak keturunannya. Sehingga sang anak tidak merasa memiliki ayah atau ibu tiri orang lain.
Maksudnya demi keberlangsungan persaudaraan antara kerabat pasangan suami isteri itu sebelumnya dengan anak keturunannya. Sehingga sang anak tidak merasa memiliki ayah atau ibu tiri orang lain.
b. perkawinan cino
buto :
perkawinan ini unik sekali, karena sepasang suami isteri yang telah tiga kali kawin cerai diperbolehkan menikah kembali dengan suaminya atau isterinya, apabila si janda telah menikah dengan laki-laki lain lebih dahulu.
Ragam perkawinan serupa ini, tidak lain sebagai praktek yang dilakukan menurut perintah agama, namun apakah dalam kenyataan ini memang ada, wallahu alam.
Tata Laksana Perkawinan
perkawinan ini unik sekali, karena sepasang suami isteri yang telah tiga kali kawin cerai diperbolehkan menikah kembali dengan suaminya atau isterinya, apabila si janda telah menikah dengan laki-laki lain lebih dahulu.
Ragam perkawinan serupa ini, tidak lain sebagai praktek yang dilakukan menurut perintah agama, namun apakah dalam kenyataan ini memang ada, wallahu alam.
Tata Laksana Perkawinan
Di
Ranah Minang, terdapat dua tatacara pelaksanaan perkawinan :
a. Perkawinan menurut agama (syara`). Mengucapkan akad nikah dihadapan kadhi.
Ketika tatacara menurut agama sudah diselenggarakan, sepasang suami isteri belumlah
a. Perkawinan menurut agama (syara`). Mengucapkan akad nikah dihadapan kadhi.
Ketika tatacara menurut agama sudah diselenggarakan, sepasang suami isteri belumlah
diperbolehkan hidup serumah tangga, apabila
mereka belum melakukan pernikahan secara adat yang
dikenal dengan “ baralek “. Pada saat ini
mereka melakukan “ kawin gantung atau nikah ganggang” ini,
kedua
pasangan suami isteri belum diperbolehkan untuk bergaul dalam satu rumah
tangga.
b.
perkawinan menurut adat, apabila telah dilakukan acara “ baralek” yaitu
perjamuan dengan
mengundang seluruh kedua anggota kerabat
pasangan suami isteri itu.
Jika
dipandang dari segi kepentingan, maka kepentingan perkawinan lebih berat pada
pihak perempuan. Oleh karena itulah mereka menjadi pemprakarsa dalam perkawinan
dan kehidupan rumah tangga. Mulai mencari jodoh, meminang, menyelenggaranakan
perkawinan, lalu mengurus dan menyediakan segala keperluan untuk membentuk
rumah tangga sampai memikul segala yang ditimbulkan dalam perkawinan itu.
Mengapa demikian pentingnya keterlibatan kerabat dalam suatu perkawinan
disebabkan antara lain :
Perkawinan merupakan suatu kewajiban bagi seorang gadis yang telah memiliki kemampuan untuk berumah tangga. Bila ia dianggap telah dewasa (“gadih gadang), maka merupakan kewajiban dari orang tua dan ninik mamak mencarikan jodohnya. Sebab jika seorang gadis, dibiarkan tidak bersuami, maka menimbulkan aib bagi kerabat yang bersangkutan. Tidak saja bagi kaumnya, gadis itupun akan menderita cacat lahir bathin. Mempunyai gadis gaek / perawan tua dalam rumah tangga merupakan aib yang akan menjadi beban sepanjang kerabat itu. Martabat keluarga menjadi jatuh karenanya.
Perkawinan merupakan suatu kewajiban bagi seorang gadis yang telah memiliki kemampuan untuk berumah tangga. Bila ia dianggap telah dewasa (“gadih gadang), maka merupakan kewajiban dari orang tua dan ninik mamak mencarikan jodohnya. Sebab jika seorang gadis, dibiarkan tidak bersuami, maka menimbulkan aib bagi kerabat yang bersangkutan. Tidak saja bagi kaumnya, gadis itupun akan menderita cacat lahir bathin. Mempunyai gadis gaek / perawan tua dalam rumah tangga merupakan aib yang akan menjadi beban sepanjang kerabat itu. Martabat keluarga menjadi jatuh karenanya.
Urang Sumando
Disamping menganut sistem eksogami dalam perkawinan, adat Minang juga menganut paham yang dalam istilah antropologi disebut dengan sistem “matri-local” atau lazim disebut dengan sistem “uxori-local” yang menetapkan bahwa marapulai atau suami bermukim atau menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat istri, atau didalam lingkungan kekerabatan istri. Namun demikian status pesukuan marapulai atau suami tidak berubah menjadi status pesukuan istrinya. Status suami dalam lingkungan kekerabatan istrinya adalah dianggap sebagai “tamu terhormat”, tetap dianggap sebagai pendatang. Sebagai pendatang kedudukannya sering digambarkan secara dramatis bagaikan “abu diatas tunggul”, dalam arti kata sangat lemah, sangat mudah disingkirkan. Namun sebaliknya dapat juga diartikan bahwa suami haruslah sangat berhati-hati dalam menempatkan dirinya dilingkungan kerabat istrinya. Dilain pihak perkawinan bagi seorang perjaka Minang berarti pula, langkah awal bagi dirinya meninggalkan kampung halaman, ibu dan bapak serta seluruh kerabatnya, untuk memulai hidup baru dilingkungan kerabat istrinya. Prosesi turun janjang dari rumah tangga orang tuanya, bagi seorang perjaka Minang adalah suatu peristiwa yang sangat mengharukan. Rasa sedih dan gembira bergalau menjadi satu. Upacara turun janjang ini, dilakukan dalam rangka upacara “japuik menjapuik”, yang berlaku dalam perkawinan adat Minang. Pepatah Minang mengatur upacara ini sebagai berikut;
Disamping menganut sistem eksogami dalam perkawinan, adat Minang juga menganut paham yang dalam istilah antropologi disebut dengan sistem “matri-local” atau lazim disebut dengan sistem “uxori-local” yang menetapkan bahwa marapulai atau suami bermukim atau menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat istri, atau didalam lingkungan kekerabatan istri. Namun demikian status pesukuan marapulai atau suami tidak berubah menjadi status pesukuan istrinya. Status suami dalam lingkungan kekerabatan istrinya adalah dianggap sebagai “tamu terhormat”, tetap dianggap sebagai pendatang. Sebagai pendatang kedudukannya sering digambarkan secara dramatis bagaikan “abu diatas tunggul”, dalam arti kata sangat lemah, sangat mudah disingkirkan. Namun sebaliknya dapat juga diartikan bahwa suami haruslah sangat berhati-hati dalam menempatkan dirinya dilingkungan kerabat istrinya. Dilain pihak perkawinan bagi seorang perjaka Minang berarti pula, langkah awal bagi dirinya meninggalkan kampung halaman, ibu dan bapak serta seluruh kerabatnya, untuk memulai hidup baru dilingkungan kerabat istrinya. Prosesi turun janjang dari rumah tangga orang tuanya, bagi seorang perjaka Minang adalah suatu peristiwa yang sangat mengharukan. Rasa sedih dan gembira bergalau menjadi satu. Upacara turun janjang ini, dilakukan dalam rangka upacara “japuik menjapuik”, yang berlaku dalam perkawinan adat Minang. Pepatah Minang mengatur upacara ini sebagai berikut;
Sigai mancari anau Anau tatap sigai baranjak Datang dek
bajapuik Pai jo baanta
Ayam putieh tabang siang Basuluah matoari Bagalanggang mato rang banyak., (Tangga mencari enau) Enau tetap tangga berpindah Datang karena dijemput
Ayam putieh tabang siang Basuluah matoari Bagalanggang mato rang banyak., (Tangga mencari enau) Enau tetap tangga berpindah Datang karena dijemput
Pergi dengan diantar (Bagaikan) Ayam putih terbang siang Bersuluh matahari Bergelanggang (disaksikan) mata orang banyak. Maksud dari pepatah diatas adalah bahwa dalam setiap perkawinan adat Minang “semua laki-laki yang diantar ke rumah istrinya, dengan dijemput oleh keluarga istrinya secara adat dan diantar pula bersama-sama oleh keluarga pihak laki-laki secara adat pula. Mulai sejak itu suami menetap di rumah atau dikampung halaman istrinya.” Bila terjadi perceraian, suamilah yang harus pergi dari rumah istrinya. Sedangkan istri tetap tinggal dirumah kediamannya bersama anak-anaknya sebagaimana telah diatur hukum adat. Bila istrinya meninggal dunia, maka kewajiban keluarga pihak suami untuk segera menjemput suami yang sudah menjadi duda itu, untuk dibawa kembali kedalam lingkungan sukunya atau kembali ke kampung halamannya. Situasi ini sungguh sangat menyedihkan, namun begitulah ketentuan adat Minang. Secara lahiriyah maupun rohaniah yang memiliki rumah di Minangkabau adalah wanita dan kaum pria hanya menumpang. Tempat berlindung pria Minang adalah surau. Menyedihkan memang.
secara spartan (secara keras dan
jantan). Dalam struktur adat Minang, kedudukan suami sebagai orang datang
(Urang Sumando) sangat lemah. Sedangkan kedudukan anak-lelaki, secara fisik
tidak punya tempat di rumah ibunya. Bila terjadi sesuatu di rumah tangganya
sendiri, maka ia tidak lagi memiliki tempat tinggal. Situasi macam ini secara
logis mendorong pria Minang untuk berusaha menjadi orang baik agar disengani
oleh dunsanaknya sendiri, maupun oleh keluarga pihak istrinya. Pada dasarnya di
Minangkabau anak laki-laki sejak kecil sudah dipaksa hidup berpisah dengan
orang tua dan saudara-saudara wanitanya. Mereka dipaksa hidup berkelompok di
surau-surau dan tidak lagi hidup di rumah Gadang dengan ibunya. Sekalipun di
rumah gedung modern sudah ada pencampuran hidup bersama antara anak lelaki dan
anak wanita Minang, namun prinsip pergaulan terpisah ini tetap dijalankan.
Antara mereka anak lelaki dan anak wanita tetap mempunyai jarak dalam pergaulan
sehari-hari.
Berbagai istilah diberikan oleh
orang Minang sebagai penilaian atas perangai dan tingkah laku Urang Sumando mereka.
Ada Urang Sumando memperoleh sebutan terhormat sebagai “Rang Sumando
Niniek-mamak”, karena tingkah laku dan adat istiadatnya menyenangkan pihak
keluarga istri.
Dalam zaman modern ini, dimana
kehidupan telah berubah sebagian keluarga Minang terutama di rantau telah
berubah dan cenderung kearah pembentukan keluarga batih dalam sistem
patrilinial atau sistem keluarga barat dimana bapak merasa dirinya sebagai
kepala keluarga dan sekaligus sebagai kepala kaum, menggantikan kedudukan
mamak.
(Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang
Minang)
0 comments:
Posting Komentar