"WADAH MEDIA KOMUNIKASI DAN INFORMASI UNTUK KALANGAN SENDIRI"
Jika ada saran-saran sampaikan melalui email : pepenaditama@rocketmail.com

Senin, 01 April 2013

Adat Perkawinan di Minangkabau


Ramo-ramo sikumbang jati,Katik endah pulang bakudo,
Patah tumbuah hilang baganti, Pusako lamo baitu pulo
 “ saluruih ka ateh, saluruih kabawah nan salingkuang cupak adat, nan sapayuang sapatagak”
Stelsel matrilineal dengan system kehidupan yang komunal, menempatkan perkawinan menjadi urusan kerabat, mulai dari :
a. Urusan mencari pasangan
b. Membuat persetujuan dan pelamaran
c. Pertunangan – batimbang tando
d. Perhelatan perkawinan – baralek

Hal ini didasarkan kepada falsafah Minang yang menganggap bahwa manusia dan individu hidup bersama-sama, sehingga masalah rumah tangga menjadi urusan bersama pula. Masalah pribadi sepasang anak manusia yang akan membangun mahligai rumah tangga tidak terlepas dari pengelolaan secara bersama.
Pola perkawinan bersifat eksogami, dimana persatuan sepasang suami dan isteri tidak menjadi lebur dalam satu rumah tangga akan tetapi masing-masing pasangan suami isteri itu tetap berada dalam kaum kerabatnya masing-masing. Didalam struktur eksogami, setiap orang adalah warga kaum dan suku mereka masing-masing, meskipun telah diikat dalam perkawinan dan telah beranak pinak pula.
Dalam stelsel matrilineal, anak yang lahir akibat perkawinan menjadi anggota kaum sang ibu.
Mengapa demikian ?
Karena secara kodrat alam, kelahiran makhluk didunia ini mengacu pada induknya.
Seorang ayah tidak perlu bertanggung jawab kepada kehidupan anaknya, karena telah ada saudara laki-laki ibunya yang akan membimbingnya dalam kehidupan masa depannya.
Bagaimanakah sesungguhnya kondisi perkawinan eksogami yang serupa ini. Tidakkah terjadi sengketa rumah tangga dalam kehidupan serupa ini. Sekilas kehidupan serupa ini menunjukkan perkawinan yang semu. Namun sesungguhnya tidak…! Karena kehidupan perkawinan yang bersifat eksogami ini, ternyata mampu mempertahankan keharmonisan rumah tangga, yang disebabkan bahwa perkawinan dalam adat dan budaya Minang adalah perkawinan keluarga. Perkawinan itu memiliki tata dan cara yang sesuai dengan falsafah yang dianutnya.
Perkawinan eksogami meletakkan para isteri pada status yang sama dengan suaminya. Seorang wanita Minang ditengah system matriarkat serta pola hidup komunal menyebabkan mereka tidak tergantung pada suaminya. Seorang suami adalah tamu dirumah keluarga isterinya, ia dimanja dan dihormati, namun ia bukanlah pemegang kuasa atas anak dan isterinya. Jika ia ingin disanjung dan dihormati, maka seorang suami harus pandai-padai menyesuaikan diri dikeluarga isterinya.

Perkawinan Ideal

Perkawinan ideal dilakukan, apabila terjadi perkawinan antara keluarga dekat, seperti perkawinan antara anak dan kemenakan. Perkawinan ini lazim disebut ;
a. perkawinan pulang kemamak, yaitu mengawini anak mamak, atau perkawinan pulang kebako, yaitu
    mengawini kemenakan ayah. Perkawinan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengawetkan
    hubungan suami isteri itu agar tidak terganggu dengan permasalahan yang mungkin timbul, karena adanya ketidak serasian antar kerabat. Ekses-ekses yang timbul didalam keluarga yang berkaitan dengan harta pusaka dapat dihindarkan.
Pola perkawinan serupa ini, merupakan manifestasi dari pepatah yang berbunyi ; anak dipangku- kemenakan dibimbing.
b. Perkawinan ambil mengambil; artinya kakak beradik laki-laki dan wanita A menikah secara bersilang dengan kakak – beradik wanita B.
Tujuan perkawinan ambil mengambil ini, ialah untuk mempererat hubungan kekerabatan ipar besan, juga untuk memperoleh suami yang pantas bagi anak kemenakan, tanpa perlu menyelidiki asal usul calon pasangan suami isteri itu.
c. Perkawinan awak sama awak, yang dilakukan antar orang sekorong, sekampung, se nagari atau se
    minangkabau. Perkawinan seperti ini dikatakan ideal karena untuk mengukuhkan lembaga perkawinan
    itu, dimana sesungguhnya struktur perkawinan yang eksogami ini, lebih mudah rapuh karena seorang
    suami tidak memiliki beban dan tanggung jawab kepada anak dan isterinya. Lain halnya jika pola awak
    samo awak, maka tambah dekat hubungan awaknya, tambah kukuhlah hubungan perkawinan itu.
Perkawinan yang kurang ideal ialah apabila salah satu pasangan berasal dari Non minang khususnya dengan wanita non minang. Pria minang yang menikah seperti ini , dianggap merusak struktur adat Minang, karena ;
1. anak yang dilahirkan dari perkawinan itu, bukanlah suku Minangkabau.
2. Anak yang dilahirkan akan menjadi beban bagi pria minang itu, karena seorang pria minang
    bertugas demi kepentingan bagi sanak saudaranya, kaumnya, dan nagarinya.
3. Kehadiran isteri orang luar Minangkabau dianggap akan menjadi beban dalam seluruh keluarganya.

Perkawinan Pantang

Pantangan perkawinan ini telah bersifat universal, dimana pun terjadi, misalnya perkawinan pantang dan perkawinan sumbang, yaitu :
a. Perkawinan pantang ialah ; perkawinan yang merusak sitem adat mereka, yaitu perkawinan yang setali
   darah menurut stelsel matrilini.
b. Perkawinan sumbang, ialah perkawinan yang dapat merusak kerukunan social masyarakat, yaitu :
1. mengawini kaum kerabat, saudara dekat, tetangga yang telah diceraikan,
2. memper-madukan wanita sekerabat,
3. mengawini orang yang tengah dalam pertunangan.
4. Mengawini anak tiri saudara kandungnya.


Ragam Perkawinan

Dalam proses terjadi perkawinan, terdapat aneka ragam perkawinan yang berlangsung pada kehidupan masyarakat, yaitu :
a. Perkawinan ganti lapik :
    Perkawinan yang dilakukan antara seorang laki-laki atau wanita yang pasangan diantara keduanya
    telah meninggal dunia. Baik laki-laki maupun wanita yang akan dinikahkan itu, merupakan saudara
laki-laki/saudara wanita itu yang telah meninggal dunia itu.
Maksudnya demi keberlangsungan persaudaraan antara kerabat pasangan suami isteri itu sebelumnya dengan anak keturunannya. Sehingga sang anak tidak merasa memiliki ayah atau ibu tiri orang lain.
b. perkawinan cino buto :
perkawinan ini unik sekali, karena sepasang suami isteri yang telah tiga kali kawin cerai diperbolehkan menikah kembali dengan suaminya atau isterinya, apabila si janda telah menikah dengan laki-laki lain lebih dahulu.
Ragam perkawinan serupa ini, tidak lain sebagai praktek yang dilakukan menurut perintah agama, namun apakah dalam kenyataan ini memang ada, wallahu alam.

Tata Laksana Perkawinan

Di Ranah Minang, terdapat dua tatacara pelaksanaan perkawinan :
a. Perkawinan menurut agama (syara`). Mengucapkan akad nikah dihadapan kadhi.
    Ketika tatacara menurut agama sudah diselenggarakan, sepasang suami isteri belumlah
    diperbolehkan hidup serumah tangga, apabila mereka belum melakukan pernikahan secara adat yang
    dikenal dengan “ baralek “. Pada saat ini mereka melakukan “ kawin gantung atau nikah ganggang” ini,
    kedua pasangan suami isteri belum diperbolehkan untuk bergaul dalam satu rumah tangga.
b. perkawinan menurut adat, apabila telah dilakukan acara “ baralek” yaitu perjamuan dengan
    mengundang seluruh kedua anggota kerabat pasangan suami isteri itu.

Perkawinan Menurut Kerabat Perempuan

Jika dipandang dari segi kepentingan, maka kepentingan perkawinan lebih berat pada pihak perempuan. Oleh karena itulah mereka menjadi pemprakarsa dalam perkawinan dan kehidupan rumah tangga. Mulai mencari jodoh, meminang, menyelenggaranakan perkawinan, lalu mengurus dan menyediakan segala keperluan untuk membentuk rumah tangga sampai memikul segala yang ditimbulkan dalam perkawinan itu. Mengapa demikian pentingnya keterlibatan kerabat dalam suatu perkawinan disebabkan antara lain :
Perkawinan merupakan suatu kewajiban bagi seorang gadis yang telah memiliki kemampuan untuk berumah tangga. Bila ia dianggap telah dewasa (“gadih gadang), maka merupakan kewajiban dari orang tua dan ninik mamak mencarikan jodohnya. Sebab jika seorang gadis, dibiarkan tidak bersuami, maka menimbulkan aib bagi kerabat yang bersangkutan. Tidak saja bagi kaumnya, gadis itupun akan menderita cacat lahir bathin. Mempunyai gadis gaek / perawan tua dalam rumah tangga merupakan aib yang akan menjadi beban sepanjang kerabat itu. Martabat keluarga menjadi jatuh karenanya.

Urang Sumando

Disamping menganut sistem eksogami dalam perkawinan, adat Minang juga menganut paham yang dalam istilah antropologi disebut dengan sistem “matri-local” atau lazim disebut dengan sistem “uxori-local” yang menetapkan bahwa marapulai atau suami bermukim atau menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat istri, atau didalam lingkungan kekerabatan istri. Namun demikian status pesukuan marapulai atau suami tidak berubah menjadi status pesukuan istrinya. Status suami dalam lingkungan kekerabatan istrinya adalah dianggap sebagai “tamu terhormat”, tetap dianggap sebagai pendatang. Sebagai pendatang kedudukannya sering digambarkan secara dramatis bagaikan “abu diatas tunggul”, dalam arti kata sangat lemah, sangat mudah disingkirkan. Namun sebaliknya dapat juga diartikan bahwa suami haruslah sangat berhati-hati dalam menempatkan dirinya dilingkungan kerabat istrinya. Dilain pihak perkawinan bagi seorang perjaka Minang berarti pula, langkah awal bagi dirinya meninggalkan kampung halaman, ibu dan bapak serta seluruh kerabatnya, untuk memulai hidup baru dilingkungan kerabat istrinya. Prosesi turun janjang dari rumah tangga orang tuanya, bagi seorang perjaka Minang adalah suatu peristiwa yang sangat mengharukan. Rasa sedih dan gembira bergalau menjadi satu. Upacara turun janjang ini, dilakukan dalam rangka upacara “japuik menjapuik”, yang berlaku dalam perkawinan adat Minang. Pepatah Minang mengatur upacara ini sebagai berikut;

Sigai mancari anau Anau tatap sigai baranjak Datang dek bajapuik Pai jo baanta
Ayam putieh tabang siang Basuluah matoari Bagalanggang mato rang banyak., (Tangga mencari enau) Enau tetap tangga berpindah Datang karena dijemput

Pergi dengan diantar (Bagaikan) Ayam putih terbang siang Bersuluh matahari Bergelanggang (disaksikan) mata orang banyak. Maksud dari pepatah diatas adalah bahwa dalam setiap perkawinan adat Minang “semua laki-laki yang diantar ke rumah istrinya, dengan dijemput oleh keluarga istrinya secara adat dan diantar pula bersama-sama oleh keluarga pihak laki-laki secara adat pula. Mulai sejak itu suami menetap di rumah atau dikampung halaman istrinya.” Bila terjadi perceraian, suamilah yang harus pergi dari rumah istrinya. Sedangkan istri tetap tinggal dirumah kediamannya bersama anak-anaknya sebagaimana telah diatur hukum adat. Bila istrinya meninggal dunia, maka kewajiban keluarga pihak suami untuk segera menjemput suami yang sudah menjadi duda itu, untuk dibawa kembali kedalam lingkungan sukunya atau kembali ke kampung halamannya. Situasi ini sungguh sangat menyedihkan, namun begitulah ketentuan adat Minang. Secara lahiriyah maupun rohaniah yang memiliki rumah di Minangkabau adalah wanita dan kaum pria hanya menumpang. Tempat berlindung pria Minang adalah surau. Menyedihkan memang.
secara spartan (secara keras dan jantan). Dalam struktur adat Minang, kedudukan suami sebagai orang datang (Urang Sumando) sangat lemah. Sedangkan kedudukan anak-lelaki, secara fisik tidak punya tempat di rumah ibunya. Bila terjadi sesuatu di rumah tangganya sendiri, maka ia tidak lagi memiliki tempat tinggal. Situasi macam ini secara logis mendorong pria Minang untuk berusaha menjadi orang baik agar disengani oleh dunsanaknya sendiri, maupun oleh keluarga pihak istrinya. Pada dasarnya di Minangkabau anak laki-laki sejak kecil sudah dipaksa hidup berpisah dengan orang tua dan saudara-saudara wanitanya. Mereka dipaksa hidup berkelompok di surau-surau dan tidak lagi hidup di rumah Gadang dengan ibunya. Sekalipun di rumah gedung modern sudah ada pencampuran hidup bersama antara anak lelaki dan anak wanita Minang, namun prinsip pergaulan terpisah ini tetap dijalankan. Antara mereka anak lelaki dan anak wanita tetap mempunyai jarak dalam pergaulan sehari-hari.
Berbagai istilah diberikan oleh orang Minang sebagai penilaian atas perangai dan tingkah laku Urang Sumando mereka. Ada Urang Sumando memperoleh sebutan terhormat sebagai “Rang Sumando Niniek-mamak”, karena tingkah laku dan adat istiadatnya menyenangkan pihak keluarga istri.

Dalam zaman modern ini, dimana kehidupan telah berubah sebagian keluarga Minang terutama di rantau telah berubah dan cenderung kearah pembentukan keluarga batih dalam sistem patrilinial atau sistem keluarga barat dimana bapak merasa dirinya sebagai kepala keluarga dan sekaligus sebagai kepala kaum, menggantikan kedudukan mamak.

(Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)

0 comments:

Posting Komentar