Kekuasaan
Kerajaan Pagaruyung tersebut telah membentuk suatu hegemoni, dibawah
Raja Alam berpusat di Pagaruyung. Khusus di alam Minangkabau, raja-raja
kecil tersebut berjumlah 61 buah kerajaan, baik yang ada di daerah darek
dan rantau Minangkabau. Mereka biasanya dipangil dengan istilah Yang
Dipertuan, Rajo, dan Sutan. Mereka ada yang berasal dari keturunan
langsung raja Pagaruyung dan adapula yang ditunjuk oleh raja sebagai
wakilnya untuk memerintah di daerah. Dalam kondisi inilah muncul
hubungan yang diistilahkan dengan sapiah balahan, kuduang karatan,
kapak radai, dan timbang pacahan Kerajaan Pagaruyung.
Beranjak
dari persoalan di atas, tulisan ini sesungguhnya ingin menjelaskan
tentang keberadaan Kerajaan Pagaruyung dari segi geografi sejarah.
Sebuah kerajaan yang ada di ranah Minangkabau, namun secara wilayah
telah melampaui sekat-sekat kewilayahannya. Diawali dengan memaparkan
tentang Kerajaan Pagaruyung itu sendiri, struktur Kerajaan Pagaruyung,
bukti keberadaan Kerajaan Pagaruyung serta Kerajaan Pagaruyung, hegemoni
melampaui sekat-sekat kewilayahan.
Kerajaan Pagaruyung merupakan sebuah kerajaan yang berpusat di luhak Tanah Datar, Minangkabau. Istana kerajaan berada di Nagari Pagaruyung, yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan raja. Kerajaan Pagaruyung disebut juga sebagai kerajaan Minangkabau. Luhak Tanah Datar sendiri merupakan salah satu bagian dari luhak nan tigo yang terdapat dalam konsepsi masyarakat Minangkabau terutama tentang alamnya. Kerajaan Pagaruyung itu sendiri didirikan oleh Adityawarman dan mencapai puncaknya sekitar abad ke-14 dan ke-15, ketika Adityawarman masih berkuasa . Adityawarman adalah putra dari Dara Jingga dari Tanah Melayu, cucu Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa, yang dibesarkan di Majapahit. Faktor itu pula yang menyebabkan ketika Adityawarman memerintah, pengaruh Kerajaan Majapahit sangat jelas. Bahkan pada masa pemerintahan Adityawarman organisasi pemerintahan kerajaan disusun menurut sistem organisasi yang berlaku di Majapahit. Begitu juga dengan sistem pemerintahan, tampaknya pola Kerajaan Majapahit dipakai pula oleh Kerajaan Pagaruyung. Pada dasarnya sistem pemerintahan di wilayah kerajaan terdiri atas dua pola, di Majapahit terdiri dari wilayah bawahan, dengan pimpinan raja bawahan, yang umumnya adalah anggota raja di pusat pemerintahan, dan wilayah mancanegara, yaitu daerah taklukan yang dipimpin raja wilayah itu sendiri. Sedangkan pola yang dipakai di Minangkabau ialah wilayah rantau, yaitu kerajaan yang dipimpin oleh raja kecil sebagai wakil raja di Pagaruyung, dan wilayah Luhak yang dipimpin para penghulu. Wilayah itu masing-masing diatur menurut sistem yang berbeda satu sama lain, sebagaimana yang diungkapkan mamang “luhak berpenghulu, rantau beraja”.
Pembentukan
Kerajaan Pagaruyung oleh Adityawarman merupakan peristiwa penting dalam
sejarah Minangkabau, karena peristiwa itu menunjukkan usaha pertama
dalam pembentukan sebuah sistem otoritas yang berada di atas tingkat
nagari yang otonom. Walaupun selanjutnya kedudukan raja di dalam
pemerintahan alam Minangkabau lebih bersifat sebagai pemersatu
nagari-nagari otonom tersebut. Otoritas tradisional Raja Minangkabau
hanya merupakan simbol persatuan dari republik-republik nagari
Minangkabau dan pemelihara hubungan dengan masyarakat di luar alam
Minangkabau. Raja meminjamkan daulatnya kepada kerajaan dan raja
merupakan lambang dari persatuan Minangkabau sebagai satu keseluruhan.
Sepeninggal Adityawarman, raja-raja Pagaruyung tetap dihormati rakyat sebagai tokoh yang menjaga keseimbangan dan keutuhan serta sebagai pemungut pajak (uang adat) yang menjadi ikatan politik. Raja mempunyai basis kekuasaan berupa pemungut pajak di kawasan rantau seperti pajak pelabuhan, pajak perdagangan dan berbagai bentuk uang adat. Pada prinsipnya, pemungutan pajak itu merupakan pemenuhan kewajiban adat. Demikian juga halnya ada pajak untuk mendirikan rumah, bangunan-bangunan balai adat, dan lain-lain.
Raja
Minangkabau, yang berkedudukan di Pagaruyung selalu menerima pajak atau
upeti dari raja di rantau seperti Siak, Indragiri, Air Bangis, Sungai
Pagu, Batang Hari, bahkan dari Batak. Pemungutan pajak di rantau kadang
kala juga diserahkan kepada raja atau utusannya yang datang ke rantau
untuk menjemput uang adat yang terkumpul. Hubungan dengan raja di rantau
ada juga yang berlangsung melalui hubungan perkawinan, dikirim langsung
dari Pagaruyung dan sebagainya, hingga muncul istilah sapiah balahan,
kuduang karatan, kapak radai, dan timbang pacahan Kerajaan Pagaruyung.
Penempatan raja di rantau mendapat restu dari raja Pagaruyung, seperti
raja Pulau Punjung adalah raja setempat yang diangkat dan ditetapkan
oleh Yang Dipertuan Pagaruyung. Raja Sungai Pagu mempunyai hubungan
darah dengan keluarga Pagaruyung.
Orang
Minangkabau tidak memandang daerah dan lembaga-lembaga kerajaannya
sebagai sebuah negara (state) yang memiliki batas-batas daerah yang
jelas, dalam arti kata hegemoni yang melampaui batas-batas kewilahannya.
Pemerintah pusat mempunyai kekuasaan untuk memungut pajak,
memerintahkan atau menyuruh orang menjadi tentara dan memaksakan hukum.
Bahkan tidak ada bukti-bukti bahwa kerajaan pernah membebankan pajak
pendapatan dan kerja wajib kepada rakyat . Menurut Dobbin (1974 :
319-356), sumber keuangan dari kerajaan adalah :
(1) pajak perdagangan di pintu-pintu keluar masuk kerajaan,
(2) pembayaran uang sidang dalam penyelesaian perkara,
(3) hasil sawah yang dikerjakan oleh orang hukuman dan pelayan-pelayannya.
Juga
tidak ada bukti-bukti sejarah yang memperlihatkan bahwa raja memaksakan
kekuasaan politiknya terhadap masalah internal dari nagari-nagari.
Nagari tetap memelihara sistem politik mereka yang otonom yang berpusat
pada penghulu dan dewan penghulu. Kelihatannya otoritas raja hanya
terbatas pada fungsi sebagai “penengah” bila konflik antar nagari tidak
dapat diselesaikan oleh nagari yang bersangkutan dan nagari-nagari
tersebut meminta raja sebagai juru damai.
Dalam
sistem pemerintahannya kerajaan induk memberikan otonomi khusus.
Walaupun demikian halnya, dalam kenyataannya hal tersebut tidak berlaku
dalam soal ekonomi. Hubungan keduanya pada awalnya bersifat
desentralistik kemudian menjadi semi desentralistik. Sebab raja-raja
kecil harus menyerahkan semacam “upeti” sebagai landasan atas bawahan
dan atasan. Namun dalam bidang lainnya tidak seperti itu, raja
Pagaruyung walaupun diakui sebagai atasan, praktis sudah tidak mempunyai
kekuasaan sama sekali dan hanya diakui karena adat dan tradisi saja
dimana-mana. Sebaliknya, raja di Pagaruyung sudah puas asal diakui saja
sebagai Yang Dipertuan dan mendapat “mas manah” tiap 3 (tiga) tahun
sekali dari rantau. Paling-paling tugas Yang Dipertuan Pagaruyung tadi
mengukuhkan seorang raja, atau menyelesaikan kalau ada sedikit
perselisihan antara raja-raja kecil. Ini pun dilakukan kalau diminta.
Ikatan sebetulnya praktis sudah tidak ada dan raja-raja dirantau tadi
merdeka dalam tindakan.
Siapa
yang kuat dapat membawahi lagi beberapa raja kecil didekatnya. Adat
istiadat setempat yang timbul perlahan-lahan, lama-kelamaan mendarah
daging, sehinga agak berbeda dari adat istiadat istana. Dengan demikian,
dirantau bisa saja muncul kerajaan-kerajaan kecil yang kuat dengan adat
kebiasaan sendiri, membawahi pula satu atau beberapa raja.
Umumnya
raja-raja kecil tersebut berada di daerah rantau, walaupun ada di
daerah darek Minangkabau. Daerah rantau disebut juga sebagai rantau
hilie karena wilayahnya berdekatan dengan pantai maupun sungai, juga
rantau mudiak. Di samping rantau hilie masih ada dua daerah rantau
yaitu, Lubuk Sikaping dan Rao yang merupakan rantau dari Luhak Agam.
Rantau selatan yang merupakan luhak Tanah Datar meliputi Solok, Selayo,
Muara Panas, Sawahlunto Sijunjung dan terus ke perbatasan Riau dan
Jambi.
Menurut
Tambo, setelah proses pembentukan daerah-daerah rantau tahap awal
selesai, maka batas-batas daerah Alam Minangkabau periode abad ke-16
meliputi, riak nan badabua, siluluk punai, mati sirangkak nan badangkang
buayo putiah daguak, taratak Aia Hitam, Kasikilang Aia Bangih sampai
kadurian di Takuak Rajo. Dengan demikian wilayah budaya Minangkabau
telah terbentuk dengan sendirinya dan falsafah hidup masyarakatnya sama
dengan yang ada di kawasan inti, termasuk sistem politik dan struktur
masyarakatnya.
Hal
ini tidak terlepas dari struktur politik alam Minangkabau yang
terkandung dalam pepatah adat, mengatakan luhak bapanghulu, rantau
barajo (luhak berpenghulu, rantau beraja). Raja adalah pemegang
kekuasaan tertinggi di Alam Minangkabau, terutama kurun waktu abad 14
hingga pertengahan abad 18. Pemegang kekuasaan tertinggi terdiri dari
tiga serangkai yang disebut Rajo nan tigo selo. Rajo nan tigo selo
terdiri dari Raja Alam, Raja Ibadat dan Raja Adat. Meskipun Raja Adat
dan Raja Ibadat mempunyai daerah kekuasaan sendiri-sendiri namun menurut
struktur kekuasaan di Alam Minangkabau, Raja Alam merupakan pimpinan
tertinggi dari raja-raja lainnya. Gelar dan fungsi Raja Alam ini
dipusakai secara turun-temurun dari pihak ayah.
Bukti Kerajaan Pagaruyung
Keberadaan Kerajaan Pagaruyung, biasa disebut pula dengan Kerajaan Melayu Minangkabau atau Kerajaan Minangkabau saja, terutama raja Adityawarman dapat dibuktikan dengan ditemukannya bukti tertulis berupa prasasti, diantaranya
Pertama Prasasti Pagaruyung (I) atau
prasasti Bukit Gombak, digoreskan pada sebuah batu pasir kuarsa warna
coklat kekuningan (batuan sedimen) berbentuk empat persegi berukuran
tinggi 2,06 meter, lebar 1,33 meter, dan tebal 38 centimeter. Prasasti
ini ditulis dalam bahasa Sansekerta bercampur dengan bahasa Melayu Kuno
atau Jawa Kuno. Prasasti Pagaruyung I berisi tentang puji-pijian akan
keagungan dan kebijaksanaan Adityawaraman sebagai raja yang banyak
menguasai pengetahuan, khususnya dibidang keagamaan, Adityawarman
dianggap sebagai cikal bakal keluarga Dharmaraja, prasasti Pagaruyung I
berisi pula tentang pertanggalan saat penulisan prasasti. Pertanggalan
dalam prasasti ini ditulis dalam bentuk kalimat candra sengkala
berbunyi wasur mmuni bhuja sthalam atau dewa ular dan pendeta yang
menjadi lengan dunia. Masing-masing kata di atas mempunyai nilai
tertentu, bila dirangkai akan menjadi angka tahun. Wasur beragka 8,
mmuni bernilai 7, bhuja bernilai 2, dan sthalam = 1. Angka tersebut
dibaca dari belakang sehingga menghasilkan angka tahun 1278 Saka (1356
M).
Kedua Prasasti Pagaruyung (II), berhuruf
Jawa Kuno dengan bahasa Sansekerta. Isi dari prasasti ini belum dapat
dijelaskan secara lengkap, namun dilihat dari angka tahunnya yakni
1295 Saka atau 1373 M sejaman dengan prasasti Adityawarman lainnya.
Ketiga Prasasti Pagaruyung (III), isi
prasasti hanya berupa keterangan pertanggalan tanpa menyebutkan suatu
peristiwa tertentu, kemungkinan besar prasasti ini ditempatkan pada
konteks bangunan (candi) atau bangunan keagamaan lain.
Keempat Prasasti Pagaruyung (IV), prasasti
yang mengunakan huruf Jawa Kuno dan bahasa Sansekerta serta berasal
dari masa Adityawarman. Hal ini ditunjukkan dengan penyebutan nama
Adityawarman pada baris ke-13. Kemudian pada baris ke-9 ada kata
sarawasa, kata yang hampir sama dapat dijumpai pada Prasasti Saruaso I,
yaitu surawasawan, yang kemudian berubah menjadi Saruaso, nama sebuah
nagari (desa) di Kabupaten Tanah Datar + 7 kilometer dari Kota
Batusangkar.
Kelima Prasasti Pagaruyung (V), berisi tentang masalah taman dan diluar kelaziman prasasti dari Adityawarman.
Keenam Prasasti Pagaruyung (VI), merupakan
stempel atau cap pembuatan bagi Tumanggung Kudawira. Berdasarkan
jabatan dan namanya dapat diketahui bahwa Tumanggung Kudawira berasal
dari Jawa, dan jabatan yang tersandang lazim dipakai pada masa kerajaan
Singasari dan Majapahit. Namun keterangan lebih jauh mengenai tokoh ini,
belum ada temuan lain yang dapat menjelaskannya.
Ketujuh Prasasti Pagaruyung (VII),
prasasti ini tidak diketahui angka tahunnya, hanya didalamnya
menyebutkan nama Sri Akarendrawarmman sebagai maharadjadiraja. Pemakaian
nama warmman dibelakang menunjukkan bahwa Sri Akarendrawarmman masih
ada hubungan darah dengan Adityawarman. Berbagai ahli menyebutnya
sebagai saudara Adityawarman dan karana gelarnya adalah
maharadjadhiraja tentunya ia sudah menjadi raja saat mengeluarkan
prasasti tersebut, mungkin sesudah Adityawarman turun tahta (meninggal).
Kedelapan Prasasti Pagaruyung(VIII), prasasti
yang dibuat pada masa Aditiawarman, ini berdasarkan tahun
dikeluarkannya yakni 1291 Saka atau 1369 M. Menurut Casparis bahwa
Prasasti Pagaruyung VIII mempunyai pertanggalan dalam bentuk candra
sengkala yaitu sasi atau bulan bernilai 1, kara atau tangan bernilai
2, awacara atau suasana bernilai 3, dan turangga atau kuda berangka 8.
Candra sengkala ini sama dengan 1238 Saka atau 1316 M. Hingga kahirnya
Casparis menyimpulkan melalui berdasarkan isi prasasti tersebut bahwa
Akarendrawarmman yang disebut dalam prasasti tersebut merupakan mamak
(saudara ayah) dari Adityawarman, sedangkan Adwayawarman (Ayah
Adityawarman seperti disebut dalam Prasasti Kuburajo I) tidak pernah
memerintah selaku seorang raja di Sumatera Barat).
Kesembilan Prasasti Pagaruyung (IX), fragmen
prasasti ini sekarang disimpan di Ruang Koleksi Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Batusangkar. Jika melihat bentuk dan gaya
tulisannya, maka kemungkinan prasasti ini berasal dari masa pemerintahan
Adityawarman.
Kesepuluh (X) Prasasti Saruaso 1, prasasti
yang berasal dari Raja Adityawarman yang berangka tahun 1297 atau 1375
Masehi. Prasasti tersebut berisi tentang suatu maklumat atau pengabaran
tentang upacara keagamaan yang dilakukan oleh Raja Adityawarman sebagai
seorang penganut Budha Mahayana sekte Bhairawa.
Kesebelas(XI)Prasasti Saruaso 2, isi
pokok dari prasasti tersebut adalah tentang seorang rajamuda
(yauwaraja) yang bernama Ananggawarman. Disebutkan pula bahwa
Ananggawarman merupakan anak (tanaya) dari Raja Adityawarman (1347-1375
M) yang kemungkinan masih berkuasa pada saat prasasti tersebut ditulis.
Keduabelas(XII) Prasasti Kuburajo I, berisi
tentang tentang sebuah genealogis atau garis keturunan Raja
Adityawarman. Pada garis kedua disebutkan seorang tokoh bernama
Adwayawarman yang berputra Raja Kanaka Medinidra. Ketigabelas, Prasasti
Kuburajo II, prasasti yang berasal dari masa Adityawarman. Beberapa
kata yang dapat dibaca dari prasasti ini antara lain rama (baris
pertama), yang dapat berarti ketua desa. Dan pembacaan pada baris ketiga
menghasilkan kata puri dan sthana yang berarti tempat peristirahatan di
istana, dan pada baris terakhir dijumpai kata srima yang merupakan
penggalan dari kata sri maharadja, sedangkan tulisan yang lain tidak
terbaca karena aus.
Ketigabelas(XIII) Prasasti Rambatan,
berada di Nagari Empat Suku Kapalo Koto, Kecamatan Rambatan, Kabupaten
Tanah Datar. Prasasti ini terdiri dari 6 baris tulisan dalam huruf Jawa
Kuno dan berbahasa Melayu Kuno. Keadaan tulisan sudah cukup aus,
sehingga hanya beberapa kata saja yang terbaca. Prasasti tersebut
berbentuk sloka sardulawikridita dan wangsastha 14. Di atas tulisan
terdapat hiasan 2 (dua) ekor ular yang saling berbelit. Bentuk hiasan
yang demikian dijumpai pula dalam beberapa prasasti peninggalan
Adityawarman lainnya.
Keempatbelas (XIV)Prasasti Ombilin, terletak
di depan Puskesmas Rambatan I, dekat Danau Ombilin, Kecamatan Rambatan,
Kabupaten Tanah Datar. Isi prasasti tersebut antara lain berupa
penghormatan kepada Adityawarman yang pandai membedakan dharma dan
adharma, ia punya sifat sebagai matahari yang membakar orang jahat,
tetapi menolong orang baik.
Kelimabelas (XV)Prasasti Bandar Bapahat, berada di Bukit Gombang, Kabupaten Tanah Datar. Dari prasasti tersebut dijumpai nama Adityawarnan dan grama sri surawasa.
Kelimabelas (XVI)Prasasti Pariagan,
ditemukan di tepi Sungai Mengkaweh, di sebelah timur kota Padang
Panjang. Prasasti ini dipahatkan pada batu monolit non-artifisial
berbentuk setengah lingkaran dengan tulisan berjumlah 6 baris. Aksara
yang dipakai sama dengan aksara prasasti Adityawarman lainnya.
Keenambelas (XVII) Prasasti Amogrhapasa,
prasasti ini dipahatkan pada bagian belakang Arca Amoghapasa yang
ditemukan di Rambahan di hulu Sungai Batanghari. Isi prasasti ini antara
lain: Adityawarman menyebut dirinya Maharajadiraja, nama lain yang
dipakainya adalah Udayadityawarman, ada upacara Bhairawa, karena
indikasi matangini dan matanginisa, ada nama Tuhan Prapatih sebagai
pejabat tinggi dari Adityawarman, Acaryya Dharmmasekhara mendirikan Arca
Budha dengan nama Gaganagnja, ada restorasi candi, berdasarkan indikasi
kalimat jirnair udharita, ada pemujaan kepada jina, ada sebutan
Rajandra Mauli Maliwarmmadewa Maha rajadhiraja dan nama Malayupura.
Ketujuhbelas (XVIII) dipahatkan pada lapik Arca Amoghapasa yang
ditemukan di Jorong Sungai Langsat, Kecamatan Sitiung, Kabupaten
Dharmasraya. Isi dari prasasti ini menyebutkan bahwa pada tahun 1208
Saka (1286 M), Bulan Badrawada Tanggal 1 paro terang, Arca Amogapasha
dibawa dari Bumi Jawa dan ditempatkan di Dharmasraya. Arca ini merupakan
persembahan dari Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara (dari kerajaan
Singosari di Jawa) untuk Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja
Mauliwarmmadewa dari Melayu Dharmasraya.
Struktur Kerajaan Pagaruyung Rajo Tigo Selo
Rajo
Tigo Selo merupakan institusi tertinggi dalam Kerajaan Pagaruyung yang
dalam tambo adat disebut Limbago Rajo. Tiga orang raja masing-masing
terdiri dari Raja Alam, Raja Adat dan Raja Ibadat yang berasal dari
satu keturunan. Ketiga raja dalam berbagai tulisan tentang Kerajaan
Pagaruyung ditafsirkan sebagai satu orang raja. Dari ekspedisi Pamalayu,
diketahui bahwa saat Mahesa Anabrang berkunjung, saat itu kerajaan
Pagaruyung dipimpin oleh Tribuana Raja Mauli Warmadew. Arti kata
tersebut adalah tiga raja penguasa bumi yang berasal dari keluarga Mauli
Warmadewa. Antara anggota Raja Tigo Selo selalu berusaha menjaga
hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan cara saling mengawini
dengan tujuan untuk memurnikan darah kebangsawanan di antara mereka,
juga untuk menjaga struktur tiga serangkai kekuasaan agar tidak mudah
terpecah belah. Raja Alam merupakan yang tertinggi dari kedua raja; Raja
Adat dan Raja Ibadat. Raja Alam memutuskan hal-hal mengenai
kepemerintahan secara keseluruhan. Raja Adat mempunyai tugas untuk
memutuskan hal-hal berkaitan dengan masalah peradatan, dan Raja Ibadat
untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut keagamaan.
Basa Ampek Balai
Dalam
struktur pemerintahan Kerajaan Pagaruyung, Rajo Tigo Selo atau Raja
Tiga Sila, dibantu oleh orang besar atau basa yang kumpulannya disebut
Basa Ampek Balai, empat orang besar yang mempunyai tugas,
kewenangan-kewenangan dan tempat kedudukan atau wilayah sendiri pada
nagari-nagari yang berada di sekeliling pusat kerajaan, Pagaruyung.
Pertama, Datuk Bandaro Putiah yang bertugas sebagai panitahan atau Tuan
Titah mempunyai kedudukan di Sungai Tarab – dengan gelar kebesarannya
Pamuncak Koto Piliang. Panitahan merupakan pimpinan, kepala atau yang
dituakan dari anggota Basa Ampek Balai dalam urusan pemerintahan. Kedua,
Tuan Makhudum yang berkedudukan di Sumanik dengan julukan aluang
bunian Koto Piliang yang bertugas dalam urusan perekonomian dan
keuangan. Ketiga, Tuan Indomo berkedudukan di Saruaso dengan julukan
Payung Panji Koto Piliang dengan tugas pertahanan dan perlindungan
kerajaan. Keempat, Tuan Khadi berkedudukan di Padang Ganting dengan
julukan
Suluah Bendang Koto mengurusi Piliang dengan tugas masalah-masalah keagamaan dan pendidikan.
Dalam struktur dan tatanan kerja Kerajaan Pagaruyung, selain Basa Ampek Balai sebagai pembantu raja, juga dilengkapi dengan seorang pembesar lain yang bertugas sebagai panglima perang yang setara dengan anggota Basa Ampek Balai lainnya, disebut Tuan Gadang. Jabatan ini berkedudukan di Batipuh dengan julukan Harimau Campo Koto Piliang. Tuan Gadang bukanlah anggota dari Basa Ampek Balai, tetapi setara dengan masing-masing anggota Basa Ampek Balai dan tetap takluk kepada raja. Setiap basa, mempunyai perangkat sendiri untuk mengurus masalah-masalah daerah kedudukannya. Masing-masing membawahi beberapa orang datuk di daerah tempat kedudukannya, tergantung kawasannya masing-masing. Setiap basa diberi wewenang oleh raja untuk mengurus wilayah-wilayah tertentu, untuk memungut pajak atau cukai yang disebut ameh manah. Misalnya Datuk Bandaro untuk daerah pesisir sampai ke Bengkulu. Makhudum untuk daerah pesisir timur sampai ke Negeri Sembilan. Indomo untuk daerah pesisir barat utara. Tuan Kadi untuk daerah Minangkabau bagian selatan.
Dalam struktur dan tatanan kerja Kerajaan Pagaruyung, selain Basa Ampek Balai sebagai pembantu raja, juga dilengkapi dengan seorang pembesar lain yang bertugas sebagai panglima perang yang setara dengan anggota Basa Ampek Balai lainnya, disebut Tuan Gadang. Jabatan ini berkedudukan di Batipuh dengan julukan Harimau Campo Koto Piliang. Tuan Gadang bukanlah anggota dari Basa Ampek Balai, tetapi setara dengan masing-masing anggota Basa Ampek Balai dan tetap takluk kepada raja. Setiap basa, mempunyai perangkat sendiri untuk mengurus masalah-masalah daerah kedudukannya. Masing-masing membawahi beberapa orang datuk di daerah tempat kedudukannya, tergantung kawasannya masing-masing. Setiap basa diberi wewenang oleh raja untuk mengurus wilayah-wilayah tertentu, untuk memungut pajak atau cukai yang disebut ameh manah. Misalnya Datuk Bandaro untuk daerah pesisir sampai ke Bengkulu. Makhudum untuk daerah pesisir timur sampai ke Negeri Sembilan. Indomo untuk daerah pesisir barat utara. Tuan Kadi untuk daerah Minangkabau bagian selatan.
Yang Dipertuan Gadis
Gelaran
Yang Dipertuan Gadis dilekatkan kepada perempuan yang dianggap dapat
menjadi pimpinan kaumnya di dalam keluarga raja mendampingi Raja
Pagaruyung. Raja Pagaruyung sendiri mempunyai gelaran Yang Dipertuan
Bujang.
Dengan
demikian dapat dipahamkan bahwa laki-laki yang dinobatkan menjadi Raja
Pagarayung dipanggil juga Yang Dipertuan Bujang, disamping
gelaran-gelaran kebesarannya lainnya seperti; Sultan Abdul Jalil, Yang
Dipertuan Sembahyang, Yang Dipertuan Hitam dan banyak gelaran kebesaran
lainnya. sedang yang perempuan (ibu, saudara perempuan) dipanggilkan
Yang Dipertuan Gadis. Perempuan yang boleh diberi gelar Yang Dipertuan
Gadis adalah perempuan terdekat dalam keturunan raja, terutama dalam
kaitan pertalian sistem kekerabatan matrilineal. Oleh karena itu,
adagium adat dalam tambo tersebut disebutkan; adat rajo turun tamurun,
adat puti sunduik basunduik. Pepatah ini bermakna bahwa gelar turun
temurun mengikuti garis keturunan patrilineal, sedangkan sunduik
basunduik dimaksudkan sebagaimana mengikuti garis keturunan matrlineal.
Dengan demikian, seorang laki-laki dalam keturunan tersebut dapat
menjadi raja, apabila ibunya adalah keturunan raja dan akan semakin kuat
lagi kalau ayahnya juga keturunan raja. Para perempuan keturunan raja
menurut garis matrilineal, di dalam Tambo Pagaruyung umumnya memakai
nama kecil tersendiri yaitu, Puti Reno. Dari sekian Puti Reno itulah
nanti dipilih untuk dijadikan Yang Dipertuan Gadis. Pemberian gelar Puti
Reno hanya dikhususkan bagi perempuan keturunan raja Pagaruyung saja.
Disepakati oleh Basa Ampek Balai. Oleh karena itu, di dalam Tambo
Pagaruyung tersebut banyak ditemui nama-nama perempuan dengan pangkal
nama Puti Reno. Begitu juga banyak perempuan yang digelari Yang
Dipertuan Gadis. Yang Dipertuan Gadis adalah nama gelar kebesaran,
sedangkan nama Puti Reno sebagai nama pertanda keturunan raja dalam
garis matrilineal.
Disamping
gelar Tuan Gadih yang ada di Pagaruyung, ada pula gelar Tuan Gadih
Saruaso yang pertama dipakai oleh Puti Reno Sudi yang menikah dengan
Indomo Saruaso. Beliau adalah anak dari Puti Reno Pomaisuri Tuan Gadih
ke IV. Gelar Tuan Gadih Saruaso ini diwarisi sampai Tuan Gadih Saruaso
ke VII yaitu yang terakhir menikah dengan Daulat Yang Dipertuan Sultan
Alam Muningsyah III (Daulat Yang Dipertuan Basusu Ampek).
Hegemoni Kerajaan Pagaruyung Melampaui Sekat-Sekat Kewilayahan
Sebagai sebuah kerajaan yang pernah ada di ranah Minangkabau, secara kewilayahan Kerajaan Pagaruyung telah melampau sekat-sekat kewilayahannya. Artinya, walaupun pusat Kerajaan Pagaruyung di Batusangkar namun raja-raja dibawah panji kekuasaan kerajaan telah menyebar ke berbagai daerah, bukan saja di Indonesia namun sampai ke mancanegara, yakni Malaysia dan Brunei Darussalam. Kekuasaan Kerajaan Pagaruyung tersebut telah membentuk suatu hegemoni, dibawah Raja Alam yang berpusat di Pagaruyung. Hal ini dibingkai dengan adanya istilah sapiah balahan, kuduang karatan, kapak radai, dan timbang pacahan.
Kekuasaan Kerajaan Pagaruyung tersebut telah membentuk suatu hegemoni, dibawah Raja Alam berpusat di Pagaruyung. Dengan adanya raja-raja dibawah panji Kerajaan Pagaruyung telah menunjukkan hegemoni yang melampaui sekat-sekat kewilayahan. Khusus di alam Minangkabau, raja-raja kecil tersebut berjumlah 61 buah kerajaan, baik yang ada di daerah darek dan rantau Minangkabau. Mereka biasanya dipangil dengan istilah Yang Dipertuan, Rajo, dan Sutan. Mereka ada yang berasal dari keturunan langsung raja Pagaruyung dan adapula yang ditunjuk oleh raja sebagai wakilnya untuk memerintah di daerah.
Hal ini dibingkai dengan adanya hubungan yang diistilahkan dengan sapiah balahan, kuduang karatan, kapak radai dan timbang pacahan.
Bundo kanduang limpapeh rumah nan gadang
Amban puruak pagangan kunci
Amban puruak aluang bunian
Pusek jalo kumpulan tali
Sumarak didalam kampuang
Hiasan dalam nagari
Nan gadang basa batuah
Kok hiduik tampek banasa
Kok mati tampaik baniaik
Amban puruak pagangan kunci
Amban puruak aluang bunian
Pusek jalo kumpulan tali
Sumarak didalam kampuang
Hiasan dalam nagari
Nan gadang basa batuah
Kok hiduik tampek banasa
Kok mati tampaik baniaik
0 comments:
Posting Komentar