"WADAH MEDIA KOMUNIKASI DAN INFORMASI UNTUK KALANGAN SENDIRI"
Jika ada saran-saran sampaikan melalui email : pepenaditama@rocketmail.com

Rabu, 25 Juli 2012

" sejarah kerajaan pagaruyung"

    "  Alam takambang nan manjadi guru",  batanyo ka nan tau, picayo ka nan bana, nan bana kato kato mupakaik, kaji tuah kanan manang lancar kaji dek di ulang, nan sakapa jadikan gunuang, nan satitik jadikan lawik.
Kok mangaruak sahabih sauang, kok mangunyah sahabih raso.. Didanga buni lai ado, diliek nan dek pandai kuek baguru,
baitulah bunyi pepatah petitih adat alama minangkabau. Kok gantiang pantang baputih, kok biang pantang bacabiak,
kok condong bapantang rabah, kok lantiak bapantang patah, lungga bapantang tangga , arek bapantang ungkai.
“ Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah “
Lantas apa latar belakang atau alasan-alasan yang membuat tergerak membuata sejarah ranah minangkabau, tentu ada alasannya, melastarikan kebudayaanyang pernah hidup disebagian bumi pertiwi yang menamakan ranah minangkabau.
Uniknya di dalam Tambo Minangkabau (bukan Tambo Pagaruyung) nama kerajaan ini tidak pernah disebut, apalagi nama raja pertamanya yaitu Adityawarman. Tambo Minangkabau yang umum akan memulai kisahnya dari peristiwa perjalanan Datuk Sri Maharajo Dirajo anak Iskandar Zulkarnain dari Benua Ruum yang kemudian mendarat di Gunung Marapi dan memulai peradaban dengan mendirikan Nagari Pariangan.
Selanjutnya adalah kisah-kisah penyebaran masyarakat ke wilayah Luhak Nan Tigo dan berkembangnya aturan-aturan dan undang-undang adat. Setiap nagari di Luhak Nan Tigo dan Minangkabau pada umumnya kemudian akan memiliki tambonya sendiri-sendiri, yang menjelaskan asal muasal nenek moyangnya(pendiri nagari tersebut).
Jadi kesimpulannya di tataran nagari-nagari, jika dikumpulkan tambo akan berhulu ke Pariangan di lereng Gunung Marapi.
Memang ada daerah-daerah di sekeliling Luhak Nan Tigo yang tambonya tidak melulu berkiblat ke Pariangan atau wilayah lain di Luhak Nan Tigo. Wilayah-wilayah di bagian selatan seperti Alam Surambi Sungai Pagu dan Inderapura juga memiliki nenek moyang dari suku bangsa Malayu dari kawasan Batanghari atau wilayah lebih selatan lagi.
Demikian pula halnya di bagian timur seperti Sungai Dareh, Sijunjung, Siguntur dan Pulau Punjung.
Ada unsur-unsur masyarakat dari wilayah lain yang turut andil dalam pendirian nagari-nagari mereka.
Daerah yang dekat seperti Pariaman pun ditengarai memiliki nenek moyang yang tidak homogen atau murni dari darek, tapi umumnya akan bisa ditarik benang merahnya dari kawasan Luhak Agam sebelah barat dan Luhak Tanah Datar sebelah barat.

Kerajaan Pagaruyung juga memiliki tambonya sendiri yang antara lain berisi ranji dan silsilah. Ranji adalah hubungan kait antara keluarga sekaum berdasarkan garis ibu secara matrilineal, sedangkan Silsilah adalah hubungan kait antara keluarga sekaum berdasarkan garis bapak secara patrilineal. Ranji dan silsilah ini dihafalkan secara lisan dalam bentuk warih bajawek dan baru mereka tuliskan dalam bentuk syair-syair dalam aksara Arab Melayu semasa pemerintahan Daulat Yang Dipertuan Fatah (ayah dari Sultan Alam Bagagar Syah), yaitu sekitar tahun 1800-an. Dari masa itu sampai sekarang
sudah ada 7 generasi dan mereka mengklaim “satitiak indak ka ilang, sabarih indak ka lupo”.
Tambo Pagaruyung adalah rujukan dan pedoman bagi siapa-siapa yang seharusnya menjadi raja.
Mereka yang tidak menjadikan Tambo Pagaruyung sebagai rujukan dalam pelurusan sejarah Kerajaan Pagaruyung, sama saja dengan “manggantang asok”. Raja di Pagaruyung  bukan diturunkan dari ayah kepada anak laki-laki, tetapi kepada anak laki-laki dari saudara perempuan. Ini sesuai dengan aturan pewarisan gelar di Minangkabau:
Biriak-biriak turun ka samak
Dari samak ka halaman
Dari niniak turun ka mamak
Dari mamak ka kamanakan
Dalam ranji dan silsilah Pagaruyung, Adityawarman ditempatkan sebagai raja pertama dan sudah berlalu 27
generasi sampai pemangku raja saat ini yaitu YM Sutan H. Muhammad Taufiq Thaib. Menurut prasasti Adityawarman mendirikan Kerajaan Pagaruyung pada tahun 1343. Dari data ini kita bisa menerima bahwa ranji dan silsilah yang mereka miliki itu cukup masuk akal. Muhammad Taufiq Thaib lahir sekitar 1970-an atau 627 tahun setelah Adityawarman, maka jika dibagi 27 didapat angka 23. Usia yang logis bagi tiap generasi untuk memiliki keturunan. Di lain pihak ada pula yang menentang eksistensi Kerajaan Pagaruyung dalam hal kebesarannya, beliau adalah Riza Syahran Ganie gelar Sutan Alief Khalifahatullah, salah satu anggota keluarga kerajaan di Negeri Pasaman.
Beliau adalah keturunan ke 13 dari raja pertama negeri ini dan umur rata-rata dalam keluarganya adalah 50 sampai 60 tahun.
Diperkirakan bahwa Negeri Pasaman sudah ada sejak 650-780 tahun yang lalu, atau diperkirakan tahun 1230-1360, sezaman atau lebih awal dari Pagaruyung.
Kembali ke Kerajaan Pagaruyung, selain tambo yang berisikan ranji dan silsilah. Mereka juga mempunyai naskah-naskah yang menjadi dasar kesejarahannya, diantaranya:
· Tambo Alam Minangkabau, berisi tentang kisah asal usul orang Minang termasuk juga sebagian silsilah raja-raja dan  beberapa latar belakang terbentuknya aturan-aturan adat
·  Tambo Adat Minangkabau (Undang-Undang Adat Minangkabau), yang berisi aturan-aturan dan tatacara  yang berlaku dalam kehidupan orang Minang 
· Tambo Darah, berisi ketentuan Raja Pagaruyung mengirim putera-puteranya ke delapan negeri untuk dirajakan disana. Tambo Darah ini juga dikenali dengan “Surat Wasiat Sutan Nan  salapan”
· Ranji Limbago Adat Alam Minangkabau, yang berisi penjelasan dari struktur dari Kerajaan Pagaruyung
·  Undang Undang Tanjuang Tanah, naskah Melayu tertua yang baru saja ditemukan di Kerinci, antara lain berisi aturan-aturan adat.

Uraian diatas kiranya cukup untuk menyajikan dinamika yang terjadi di Ranah Minang sampai saat ini. Kesimpulan yang mungkin bisa kita ambil adalah Pagaruyung pernah berkuasa di Minangkabau dan akhirnya tenggelam kedalam aturan adat yang berlaku di Minangkabau. Konflik fisik pernah terjadi antara lain dengan kaum bangsawan adat di Saruaso pada sekitar 1400-an, mungkin ini bentuk resistensi mereka karena bagaimanapun Pagaruyung dianggap sebagai entitas di luar adat.
Rekonsiliasi juga mungkin pernah terjadi setelahnya sampai akhirnya terjadi lagi konflik besar pada masa Perang Paderi yang berakhir dengan terbunuhnya sebagian besar keluarga raja di Koto Tangah, Tanah Datar. Istana Pagaruyung kemudian  dibakar dan Sultan Alam Bagagar Syah ditangkap Belanda lalu dibuang ke Batavia.
Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatera Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yang ada pada masyarakat Minangkabau, yaitu nama sebuah nagari yang bernama Pagaruyung. Kerajaan ini akhirnya runtuh pada masa Perang Padri. Ditandatanganinya perjanjian antara kaum Adat dengan pihak Belanda telah menjadikan kerajaan Pagaruyung berada dalam pengawasan Belanda.
Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Malayapura,sebuah kerajaan yang pada Prasasti Amoghapasa disebutkan dipimpin oleh Adityawarman, yang mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam Malayapura adalah kerajaan Dharmasraya, serta kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.

Sejarah berdirinya Pagaruyung


Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh masyarakat Minangkabau tidak ada yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar.
Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang Arca Amoghapasa disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang  terpahat pada Prasasti Kuburajo dan anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yang disebut dalam Pararaton.
Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang, pada masa pemerintahannya  kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.
Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada
kamanakan (kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut. Sementara pada sisi lain dari saluran irigasi tersebut terdapat juga sebuah prasasti yang beraksara Nagari atau Tamil, sehingga dapat menunjukan adanya sekelompok masyarakat dari selatan India dalam jumlah yang signifikan pada kawasan tersebut.
Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit. Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yang menyebut sesuatu hal yang berkaitan dengan bhumi jawa dan kemudian dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377.
Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409. Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk.
Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).
Pengaruh Hindu-Budha
                                                                                          Prasasti Adityawarman
Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera bagian tengah telah muncul kira-kira pada abad ke-13,yaitu dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan kemudian pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman.
Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera bagian tengah dan sekitarnya.
Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yang disandang oleh Adityawarman seperti yang terpahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungai Batang Hari (sekarang termasuk kawasan Kabupaten Dharmasraya).
Dari prasasti Batusangkar disebutkan Ananggawarman sebagai yuvaraja melakukan ritual ajaran Tantris dari agama Buddha  yang disebut hevajra yaitu upacara peralihan kekuasaan dari Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377 tentang adanya utusan San-fo-ts'i kepada Kaisar Cina yang meminta permohonan pengakuan  sebagai penguasa pada kawasan San-fo-ts'i.
Beberapa kawasan pedalaman Sumatera tengah sampai sekarang masih dijumpai pengaruhi agama Buddha antara lain kawasan percandian Padangroco, kawasan percandian Padanglawas dan kawasan percandian Muara Takus. Kemungkinan kawasan tersebut termasuk kawasan taklukan Adityawarman.[10] Sedangkan tercatat penganut taat ajaran ini selain Adityawarman pada masa sebelumnnya adalah Kubilai Khan dari Mongol dan raja Kertanegara dari Singhasari.
Pengaruh Islam
Perkembangan agama Islam setelah akhir abad ke-14 sedikit banyaknya memberi pengaruh terutama yang berkaitan dengan  sistem patrialineal, dan memberikan fenomena yang relatif baru pada masyarakat di pedalaman Minangkabau.
Pada awal abad ke-16, Suma Oriental yang ditulis antara tahun 1513 and 1515, mencatat dari ke-tiga raja Minangkabau, hanya satu yang telah menjadi muslim sejak 15 tahun sebelumnya. Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16,  yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang  terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam.
Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif. Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan  pada Al-Quran. Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa sistem dan cara-cara adat masih dipertahankan dan inilah yang mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Padri yang pada awalnya antara Kaum Padri (ulama) dengan Kaum Adat, sebelum Belanda melibatkan diri dalam peperangan ini. Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan dengan Islam. Penamaan negari Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal dari kata Quduus (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang mengandung kata qaum jelas  merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain itu dalam perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib),
Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan pengganti dari istilah-istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya misalnya istilah Pandito (pendeta).
Hubungan dengan Belanda dan Inggris
Pada awal abad ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan kesultanan Aceh, dan mengakui para gubernur Aceh yang ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat Sumatera. Namun sekitar tahun 1665, masyarakat Minang di pesisir pantai barat bangkit dan memberontak terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yang menyebut dirinya Raja Pagaruyung mengajukan permohonan kepada VOC, dan VOC waktu itu mengambil kesempatan sekaligus untuk menghentikan monopoli Aceh atas emas dan lada.
Selanjutnya VOC melalui seorang regent-nya di Padang, Jacob Pits yang daerah kekuasaannya meliputi dari Kotawan di selatan sampai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain,
Penguasa Minangkabau yang kaya akan emas serta memberitahukan bahwa VOC telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai. Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tahun 1674 dan digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Indermasyah. Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666, melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara daerah-daerah rantau dan pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung merupakan salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatera, disebabkan adanya produksi emas di sana. Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.
Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tidak menyukai keberadaan VOC di Padang dan pernah berusaha membujuk Inggris yang berada di Bengkulu, bersekutu untuk mengusir Belanda walaupun tidak ditanggapi oleh pihak Inggris. Namun pada tahun 1781 Inggris berhasil menguasai Padang untuk sementara waktu dan waktu itu datang utusan dari Pagaruyung memberikan ucapan selamat atas keberhasilan Inggris mengusir Belanda dari Padang.[  Menurut Marsden tanah Minangkabau sejak  lama dianggap terkaya dengan emas, dan waktu itu kekuasaan raja Minangkabau disebutnya sudah terbagi atas raja Suruaso dan raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yang sama. Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di Padang telah mencatat bahwa ada seorang ratu bernama Yang Dipertuan Puti Jamilan telah mengirimkan tombak dan pedang berbahan emas, sebagai tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas. Walaupun kemudian setelah pihak Belanda maupun Inggris berhasil mencapai kawasan  pedalaman Minangkabau, namun mereka belum pernah menemukan cadangan emas yang signifikan dari kawasan tersebut.
Sebagai akibat konflik antara Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon di mana Belanda ada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda dan kembali berhasil menguasai pantai barat Sumatera Barat antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819.
Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yang sudah mulai dilanda peperangan antara kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibukota kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan yang terjadi.[
Setelah terjadi perdamaian antara Inggris dan Belanda pada tahun 1814, maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada tahun 1824 dengan Inggris.
Runtuhnya Pagaruyung
Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.
Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara kaum Padri dan kaum Adat. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Karena terdesak kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada Belanda, dan sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada mereka. Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan Tangkal Alam Bagagar, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang berada di Padang,[20] beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerjasama dalam melawan kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung. Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda. Kemudian setelah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari kaum Padri, pada tahun 1824 atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsyah kembali ke Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.
                                      Pasukan Belanda dan Padri saling berhadapan di medan perang. Lukisan sekitar tahun 1900.

Sementara Sultan Tangkal Alam Bagagar pada sisi lain ingin diakui sebagai Raja Pagaruyung, namun pemerintah Hindia-Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya dan hanya mengangkatnya sebagai Regent Tanah Datar.[20] Kemungkinan karena kebijakan tersebut menimbulkan dorongan pada Sultan Tangkal Alam Bagagar untuk mulai memikirkan bagaimana mengusir Belanda dari negerinya.[1]
Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian berusaha menaklukkan kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa, Madura, Bugis dan Ambon.[31] Namun ambisi kolonial Belanda tampaknya membuat kaum adat dan kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Sultan Tangkal Alam Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang) sampai akhir hayatnya, dan dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.
Setelah kejatuhannya, pengaruh dan prestise kerajaan Pagaruyung tetap tinggi terutama pada kalangan masyarakat Minangkabau yang berada di rantau. Salah satu ahli waris kerajaan Pagaruyung diundang untuk menjadi penguasa di Kuantan.[  Begitu juga sewaktu Raffles masih bertugas di Semenanjung Malaya, dia berjumpa dengan kerabat Pagaruyung yang berada di Negeri Sembilan, dan Raffles bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggapnya masih keturunan langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan Inggris.[1] Sementara setelah berakhirnya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh meminta pemerintah Hindia-Belanda untuk memberikan kedudukan yang lebih tinggi dari pada sekedar Regent Tanah Datar yang dipegangnya setelah menggantikan Sultan Tangkal Alam Bagagar, namun permintaan ini ditolak oleh Belanda,[34] hal ini nantinya termasuk salah satu pendorong pecahnya pemberontakan tahun 1841 di Batipuh selain masalah cultuurstelsel.
Wilayah kekuasaan
Menurut Tomé Pires dalam Suma Oriental, tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman Sumatera tempat dimana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai timur Arcat (antara Aru dan Rokan) ke Jambi dan kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur (Barus), Tiku dan Pariaman. Dari catatan tersebut juga dinyatakan tanah Indragiri, Siak dan Arcat merupakan bagian dari tanah Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau tersebut. Namun belakangan daerah-daerah rantau seperti Siak, Kampar dan Indragiri kemudian lepas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh.[35]
Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah wilayah tempat hidup, tumbuh, dan berkembangnya kebudayaan Minangkabau. Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan tambo (legenda adat) berbahasa Minang ini:
Dari Sikilang Aia Bangih
Hingga Taratak Aia Hitam
Dari Durian Ditakuak Rajo
Hingga Sialang Balantak Basi
Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang. Secara lengkapnya, di dalam tambo dinyatakan bahwa Alam Minangkabau (wilayah Kerajaan Pagaruyung) adalah sebagai berikut:
Nan salilik Gunuang Marapi, Saedaran Gunuang Pasaman, Sajajaran Sago jo Singgalang
Saputaran Talang jo Kurinci
Dari Sirangkak nan Badangkang, Hinggo Buayo Putiah Daguak, Sampai ka Pintu Rajo Hilia
Hinggo Durian Ditakuak Rajo
Sipisau-pisau Hanyuik, Sialang Balantak Basi, Hinggo Aia Babaliak Mudiak
Sailiran Batang Bangkaweh, Sampai ka ombak nan badabua, Sailiran Batang Sikilang
Hinggo lauik nan sadidieh
Ka timua Ranah Aia Bangih, Rao jo Mapat Tunggua
Gunuang Mahalintang, Pasisia Banda Sapuluah
Taratak Aia Hitam, Sampai ka Tanjuang Simalidu
Pucuak Jambi Sambilan Lurah

Aparat Pemerintahan
Adityawarman pada awalnya menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yang ada di Majapahit masa itu, meskipun kemudian menyesuaikannya dengan karakter dan struktur kekuasaan kerajaan sebelumnya (Dharmasraya dan Sriwijaya) yang pernah ada pada masyarakat setempat. Ibukota diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat.
 Setelah masuknya Islam, Raja Alam yang berkedudukan di Pagaruyung melaksanakan tugas pemerintahannya dengan bantuan dua orang pembantu utamanya (wakil raja), yaitu Raja Adat yang berkedudukan di Buo, dan Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus. Bersama-sama mereka bertiga disebut Rajo Tigo Selo, artinya tiga orang raja yang "bersila" atau bertahta. Raja Adat memutuskan masalah-masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama. Bila ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa ke Raja Pagaruyung. Istilah lainnya yang digunakan untuk mereka dalam bahasa Minang ialah tigo tungku sajarangan. Untuk sistem pergantian raja di Minangkabau menggunakan sistem patrilineal[38] berbeda dengan sistem waris dan kekerabatan suku yang masih tetap pada sistem matrilineal.
Selain kedua raja tadi, Raja Alam juga dibantu oleh para pembesar yang disebut Basa Ampek Balai, artinya "empat menteri utama". Mereka adalah:
  1. Bandaro yang berkedudukan di Sungai Tarab.
  2. Makhudum yang berkedudukan di Sumanik.
  3. Indomo yang berkedudukan di Suruaso.
  4. Tuan Gadang yang berkedudukan di Batipuh.
Belakangan, pengaruh Islam menempatkan Tuan Kadi yang berkedudukan di Padang Ganting masuk menjadi Basa Ampek Balai. Ia mengeser kedudukan Tuan Gadang di Batipuh, dan bertugas menjaga syariah agama.
Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-daerah tertentu tempat mereka berhak menagih upeti sekedarnya, yang disebut rantau masing-masing pembesar tersebut. Bandaro memiliki rantau di Bandar X, rantau Tuan Kadi adalah di VII Koto dekat Sijunjung, Indomo punya rantau di bagian utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di Semenanjung Melayu, di daerah pemukiman orang Minangkabau di sana.
Selain itu dalam menjalankan roda pemerintahan, kerajaan juga mengenal aparat pemerintah yang menjalankan kebijakan dari kerajaan sesuai dengan fungsi masing-masing, yang sebut Langgam nan Tujuah. Mereka terdiri dari:
  1. Pamuncak Koto Piliang
  2. Perdamaian Koto Piliang
  3. Pasak Kungkuang Koto Piliang
  4. Harimau Campo Koto Piliang
  5. Camin Taruih Koto Piliang
  6. Cumati Koto Piliang
  7. Gajah Tongga Koto Piliang
Pemerintahan Darek dan Rantau
Dalam laporannya, Tomé Pires telah memformulasikan struktur wilayah dari tanah Minangkabau dalam darek (land) dan rantau (sea/coast),[14] walaupun untuk beberapa daerah pantai timur Sumatera seperti Jambi dan Palembang disebutkan telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa.
Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 nagari, yang merupakan satuan wilayah otonom pemerintahan. Nagari-nagari ini merupakan dasar kerajaan, dan mempunyai kewenangan yang luas dalam memerintah. Suatu nagari mempunyai kekayaannya sendiri dan memiliki pengadilan adatnya sendiri. Beberapa buah nagari kadang-kadang membentuk persekutuan. Misalnya Bandar X adalah persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala persekutuan ini diambil dari kaum penghulu, dan sering diberi gelar raja. Raja kecil ini bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.
Darek
Di daerah Darek atau daerah inti Kerajaan Pagaruyung terbagi atas 3 luhak (Luhak Nan Tigo, yaitu Luhak Tak nan Data, belakangan menjadi Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Limopuluah). Sementara pada setiap nagari pada kawasan luhak ini diperintah oleh para penghulu, yang mengepalai masing-masing suku yang berdiam dalam nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku, dan warga nagari untuk memimpin dan mengendalikan pemerintahan nagari tersebut. Keputusan pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu di Balai Adat, setelah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah inti Kerajaan Pagaruyung, Raja Pagaruyung tetap dihormati walau hanya bertindak sebagai penengah dan penentu batas wilayah.
Rantau
Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah Rantau. Ia boleh membuat peraturan dan memungut pajak di sana. Rantau merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).
Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Penduduk Tanah Datar merantau ke arah barat dan tenggara, penduduk Agam merantau ke arah utara dan barat, sedangkan penduduk Limopuluah merantau ke daerah Riau daratan sekarang, yaitu Rantau Kampar, Rokan dan Kuantan. Selain itu, terdapat daerah perbatasan wilayah luhak dan rantau yang disebut sebagai Ujuang Darek Kapalo Rantau. Di daerah rantau seperti di Pasaman, kekuasaan penghulu ini sering berpindah kepada raja-raja kecil, yang memerintah turun temurun. Di Inderapura, raja mengambil gelar sultan. Sementara di kawasan lain mengambil gelar Yang Dipertuan Besar.
Pembagian daerah rantau adalah sebagai berikut: Rantau Luhak Tanah Data , Rantau Luhak Agam , Rantau Luhak Limopuluah
SATU peninggalan berharga dari Kerajaan Minangkabau, Sumatera Barat, adalah masih adanya situs dan artefak yang tersimpan di lokasi semula, yaitu di wilayah Istana Kerajaan Pagaruyung, sekitar 3 km sebelah utara dari pusat kota Batusangkar.
Sekalipun istana yang asli sudah terbakar berulangkali, tetapi sudah dibangun kembali replikanya.
Sekilas sejarah Kerajaan Pagaruyung, untuk menambah wawasan kebudayaan anak bangsa , bangsa Indonesia.





0 comments:

Posting Komentar