" Alam takambang nan manjadi guru", batanyo ka nan tau,
picayo ka nan bana, nan bana kato kato mupakaik, kaji tuah kanan manang lancar
kaji dek di ulang, nan sakapa jadikan gunuang, nan satitik jadikan lawik.
Kok mangaruak sahabih
sauang, kok mangunyah sahabih raso.. Didanga buni lai ado, diliek nan dek
pandai kuek baguru,
baitulah bunyi
pepatah petitih adat alama minangkabau. Kok gantiang pantang baputih, kok biang
pantang bacabiak,
kok condong bapantang
rabah, kok lantiak bapantang patah, lungga bapantang tangga , arek bapantang
ungkai.
Lantas apa latar belakang atau alasan-alasan
yang membuat tergerak membuata sejarah ranah minangkabau, tentu ada alasannya, melastarikan
kebudayaanyang pernah hidup disebagian bumi pertiwi yang menamakan ranah
minangkabau.
Uniknya di dalam Tambo
Minangkabau (bukan Tambo Pagaruyung) nama kerajaan ini tidak pernah disebut, apalagi
nama raja pertamanya yaitu Adityawarman. Tambo Minangkabau yang umum akan
memulai kisahnya dari peristiwa perjalanan Datuk Sri Maharajo Dirajo anak
Iskandar Zulkarnain dari Benua Ruum yang kemudian mendarat di Gunung Marapi dan
memulai peradaban dengan mendirikan Nagari Pariangan.
Selanjutnya adalah
kisah-kisah penyebaran masyarakat ke wilayah Luhak Nan Tigo dan berkembangnya
aturan-aturan dan undang-undang adat. Setiap nagari di Luhak Nan Tigo dan
Minangkabau pada umumnya kemudian akan memiliki tambonya sendiri-sendiri, yang
menjelaskan asal muasal nenek moyangnya(pendiri nagari tersebut).
Jadi kesimpulannya di
tataran nagari-nagari, jika dikumpulkan tambo akan berhulu ke Pariangan di
lereng Gunung Marapi.
Memang ada daerah-daerah
di sekeliling Luhak Nan Tigo yang tambonya tidak melulu berkiblat ke Pariangan
atau wilayah lain di Luhak Nan Tigo. Wilayah-wilayah di bagian selatan seperti
Alam Surambi Sungai Pagu dan Inderapura juga memiliki nenek moyang dari suku
bangsa Malayu dari kawasan Batanghari atau wilayah lebih selatan lagi.
Demikian pula halnya di
bagian timur seperti Sungai Dareh, Sijunjung, Siguntur dan Pulau Punjung.
Ada unsur-unsur
masyarakat dari wilayah lain yang turut andil dalam pendirian nagari-nagari
mereka.
Daerah yang dekat
seperti Pariaman pun ditengarai memiliki nenek moyang yang tidak homogen atau
murni dari darek, tapi umumnya akan bisa ditarik benang merahnya dari kawasan
Luhak Agam sebelah barat dan Luhak Tanah Datar sebelah barat.
Kerajaan Pagaruyung juga memiliki
tambonya sendiri yang antara lain berisi ranji dan silsilah. Ranji adalah
hubungan kait antara keluarga sekaum berdasarkan garis ibu secara matrilineal,
sedangkan Silsilah adalah hubungan kait antara keluarga sekaum berdasarkan
garis bapak secara patrilineal. Ranji dan silsilah ini dihafalkan secara lisan
dalam bentuk warih bajawek dan baru mereka tuliskan dalam bentuk
syair-syair dalam aksara Arab Melayu semasa pemerintahan Daulat Yang Dipertuan
Fatah (ayah dari Sultan Alam Bagagar Syah), yaitu sekitar tahun 1800-an. Dari
masa itu sampai sekarang
sudah ada 7 generasi dan mereka
mengklaim “satitiak indak ka ilang, sabarih indak ka lupo”.
Tambo Pagaruyung adalah rujukan dan pedoman bagi
siapa-siapa yang seharusnya menjadi raja.
Mereka yang tidak menjadikan Tambo Pagaruyung sebagai
rujukan dalam pelurusan sejarah Kerajaan Pagaruyung, sama saja dengan
“manggantang asok”. Raja di Pagaruyung bukan diturunkan dari ayah kepada
anak laki-laki, tetapi kepada anak laki-laki dari saudara perempuan. Ini sesuai
dengan aturan pewarisan gelar di Minangkabau:
Biriak-biriak
turun ka samak
Dari samak ka halaman
Dari niniak turun ka mamak
Dari mamak ka kamanakan
Dalam ranji dan silsilah Pagaruyung, Adityawarman
ditempatkan sebagai raja pertama dan sudah berlalu 27
generasi sampai pemangku raja saat ini yaitu YM Sutan
H. Muhammad Taufiq Thaib. Menurut prasasti Adityawarman mendirikan Kerajaan
Pagaruyung pada tahun 1343. Dari data ini kita bisa menerima bahwa ranji dan
silsilah yang mereka miliki itu cukup masuk akal. Muhammad Taufiq Thaib lahir
sekitar 1970-an atau 627 tahun setelah Adityawarman, maka jika dibagi 27
didapat angka 23. Usia yang logis bagi tiap generasi untuk memiliki keturunan. Di
lain pihak ada pula yang menentang eksistensi Kerajaan Pagaruyung dalam hal
kebesarannya, beliau adalah Riza Syahran Ganie gelar Sutan Alief Khalifahatullah,
salah satu anggota keluarga kerajaan di Negeri Pasaman.
Beliau adalah keturunan ke 13 dari raja pertama negeri
ini dan umur rata-rata dalam keluarganya adalah 50 sampai 60 tahun.
Diperkirakan bahwa Negeri Pasaman sudah ada sejak
650-780 tahun yang lalu, atau diperkirakan tahun 1230-1360, sezaman atau lebih
awal dari Pagaruyung.
Kembali ke Kerajaan Pagaruyung, selain tambo yang
berisikan ranji dan silsilah. Mereka juga mempunyai naskah-naskah yang menjadi
dasar kesejarahannya, diantaranya:
· Tambo
Alam Minangkabau, berisi tentang kisah asal usul orang Minang termasuk juga
sebagian silsilah raja-raja dan beberapa
latar belakang terbentuknya aturan-aturan adat
· Tambo Adat Minangkabau (Undang-Undang Adat Minangkabau), yang
berisi aturan-aturan dan tatacara yang berlaku dalam kehidupan orang
Minang
·
Tambo Darah, berisi ketentuan Raja Pagaruyung mengirim putera-puteranya
ke delapan negeri untuk dirajakan disana. Tambo Darah ini juga dikenali
dengan “Surat Wasiat Sutan Nan salapan”
·
Ranji Limbago Adat Alam Minangkabau, yang berisi
penjelasan dari struktur dari Kerajaan Pagaruyung
· Undang Undang Tanjuang Tanah, naskah Melayu tertua yang baru
saja ditemukan di Kerinci, antara lain berisi aturan-aturan adat.
Uraian diatas kiranya cukup untuk menyajikan dinamika yang
terjadi di Ranah Minang sampai saat ini. Kesimpulan yang mungkin bisa kita
ambil adalah Pagaruyung pernah berkuasa di Minangkabau dan akhirnya tenggelam
kedalam aturan adat yang berlaku di Minangkabau. Konflik fisik pernah terjadi
antara lain dengan kaum bangsawan adat di Saruaso pada sekitar 1400-an, mungkin
ini bentuk resistensi mereka karena bagaimanapun Pagaruyung dianggap sebagai
entitas di luar adat.
Rekonsiliasi juga mungkin pernah terjadi setelahnya sampai
akhirnya terjadi lagi konflik besar pada masa Perang Paderi yang berakhir
dengan terbunuhnya sebagian besar keluarga raja di Koto Tangah, Tanah Datar.
Istana Pagaruyung kemudian dibakar dan
Sultan Alam Bagagar Syah ditangkap Belanda lalu dibuang ke Batavia.
Kerajaan
Pagaruyung adalah sebuah Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatera Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan
ini dirujuk dari Tambo yang ada pada masyarakat Minangkabau, yaitu nama sebuah nagari yang bernama Pagaruyung. Kerajaan
ini akhirnya runtuh pada masa Perang Padri. Ditandatanganinya perjanjian antara kaum Adat dengan
pihak Belanda telah menjadikan kerajaan Pagaruyung berada dalam pengawasan
Belanda.
Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam
Malayapura,sebuah kerajaan yang pada Prasasti
Amoghapasa disebutkan dipimpin oleh Adityawarman, yang mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam
Malayapura adalah kerajaan Dharmasraya, serta kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman
lainnya.
Sejarah berdirinya
Pagaruyung
Munculnya
nama Pagaruyung sebagai sebuah
kerajaan Melayu tidak dapat
diketahui dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh
masyarakat Minangkabau tidak ada yang
memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan, bahkan
jika menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari
kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya. Namun dari
beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa
Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya menjadi
Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar.
Dari
manuskrip yang dipahat kembali
oleh Adityawarman pada bagian belakang Arca Amoghapasa disebutkan pada
tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman
merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada Prasasti Kuburajo dan anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan
Dharmasraya seperti yang disebut
dalam Pararaton.
Ia
sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang
menaklukkan Bali dan Palembang, pada masa pemerintahannya kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat
pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.
Dari
prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan
selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan
padi yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja
sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari
mamak (paman) kepada
kamanakan
(kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut. Sementara pada sisi lain dari
saluran irigasi tersebut terdapat juga sebuah prasasti yang beraksara Nagari
atau Tamil, sehingga dapat
menunjukan adanya sekelompok masyarakat dari selatan India dalam jumlah yang signifikan pada kawasan tersebut.
Adityawarman
pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, dan
bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit. Namun dari
prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yang
menyebut sesuatu hal yang berkaitan dengan bhumi jawa dan kemudian dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377.
Setelah
meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi
untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409. Legenda-legenda Minangkabau
mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk.
Konon
daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan
di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.
Sebelum
kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah
memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang merupakan
lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat dari
kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem
administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).
Pengaruh Hindu-Budha
Prasasti Adityawarman
Pengaruh
Hindu-Budha di Sumatera bagian tengah telah muncul kira-kira pada abad ke-13,yaitu
dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara,
dan kemudian pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman.
Kekuasaan
dari Adityawarman diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera bagian
tengah dan sekitarnya.
Hal ini
dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yang disandang oleh
Adityawarman seperti yang terpahat pada bahagian belakang Arca
Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungai Batang Hari
(sekarang termasuk kawasan Kabupaten Dharmasraya).
Dari prasasti Batusangkar disebutkan Ananggawarman sebagai yuvaraja
melakukan ritual ajaran Tantris dari agama Buddha yang disebut hevajra yaitu upacara
peralihan kekuasaan dari Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat
dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377 tentang adanya utusan San-fo-ts'i
kepada Kaisar Cina yang meminta permohonan pengakuan sebagai penguasa pada kawasan San-fo-ts'i.
Beberapa kawasan pedalaman Sumatera
tengah sampai sekarang masih dijumpai pengaruhi agama Buddha antara lain
kawasan percandian Padangroco, kawasan percandian Padanglawas dan kawasan percandian Muara Takus.
Kemungkinan kawasan tersebut termasuk kawasan taklukan Adityawarman.[10]
Sedangkan tercatat penganut taat ajaran ini selain Adityawarman pada masa
sebelumnnya adalah Kubilai Khan dari Mongol dan raja Kertanegara dari Singhasari.
Pengaruh Islam
Perkembangan
agama Islam setelah akhir abad
ke-14 sedikit banyaknya memberi pengaruh terutama yang berkaitan dengan sistem patrialineal, dan memberikan fenomena
yang relatif baru pada masyarakat di pedalaman Minangkabau.
Pada
awal abad ke-16, Suma Oriental yang ditulis antara tahun 1513 and 1515,
mencatat dari ke-tiga raja Minangkabau, hanya satu yang telah menjadi muslim sejak 15 tahun sebelumnya. Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang
singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah
Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang
dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17,
Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam.
Raja
Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif. Dengan masuknya agama Islam, maka aturan
adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal
yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat
Minangkabau yang terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi
Kitabullah", yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam,
sedangkan agama Islam bersendikan pada
Al-Quran. Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa sistem dan cara-cara adat
masih dipertahankan dan inilah yang mendorong pecahnya perang saudara yang
dikenal dengan nama Perang Padri yang pada awalnya
antara Kaum Padri (ulama) dengan Kaum Adat, sebelum Belanda melibatkan diri
dalam peperangan ini. Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan
kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi
dan beberapa istilah lain yang berhubungan dengan Islam. Penamaan negari Sumpur Kudus yang mengandung kata
kudus yang berasal dari kata Quduus (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat
dan Limo Kaum yang mengandung kata qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau
Islam. Selain itu dalam perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib),
Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan pengganti dari istilah-istilah
yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya misalnya istilah Pandito
(pendeta).
Hubungan dengan Belanda dan
Inggris
Pada awal abad ke-17, kerajaan ini
terpaksa harus mengakui kedaulatan kesultanan
Aceh, dan mengakui para gubernur Aceh
yang ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat Sumatera. Namun sekitar tahun
1665, masyarakat Minang di pesisir pantai barat bangkit dan memberontak
terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yang menyebut dirinya Raja
Pagaruyung mengajukan permohonan kepada VOC, dan VOC waktu itu mengambil
kesempatan sekaligus untuk menghentikan monopoli Aceh atas emas dan lada.
Selanjutnya VOC melalui seorang
regent-nya di Padang, Jacob Pits yang daerah kekuasaannya meliputi dari
Kotawan di selatan sampai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9
Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain,
Penguasa Minangkabau yang kaya akan
emas serta memberitahukan bahwa VOC
telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas dapat
dialirkan kembali pada pesisir pantai. Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah
meninggal dunia tahun 1674 dan digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Indermasyah. Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan
Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun
1666, melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara daerah-daerah
rantau dan pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali. Saat
itu Pagaruyung merupakan salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatera,
disebabkan adanya produksi emas di
sana. Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris
untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684,
seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung atas
perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.
Sekitar tahun 1750 kerajaan
Pagaruyung mulai tidak menyukai keberadaan VOC di Padang dan pernah berusaha membujuk Inggris yang berada di Bengkulu, bersekutu untuk mengusir Belanda walaupun tidak ditanggapi
oleh pihak Inggris. Namun pada tahun 1781 Inggris berhasil menguasai Padang
untuk sementara waktu dan waktu itu datang utusan dari Pagaruyung memberikan
ucapan selamat atas keberhasilan Inggris mengusir Belanda dari Padang.[ Menurut Marsden
tanah Minangkabau sejak lama dianggap
terkaya dengan emas, dan waktu itu kekuasaan raja Minangkabau disebutnya sudah
terbagi atas raja Suruaso dan raja Sungai Tarab dengan kekuasaan
yang sama. Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di Padang telah
mencatat bahwa ada seorang ratu bernama Yang Dipertuan Puti Jamilan
telah mengirimkan tombak dan pedang berbahan emas, sebagai tanda pengukuhan
dirinya sebagai penguasa bumi emas. Walaupun kemudian setelah pihak
Belanda maupun Inggris berhasil mencapai kawasan pedalaman Minangkabau, namun mereka belum
pernah menemukan cadangan emas yang signifikan dari kawasan tersebut.
Sebagai akibat konflik antara
Inggris dan Perancis
dalam Perang Napoleon
di mana Belanda ada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda dan
kembali berhasil menguasai pantai barat Sumatera Barat antara tahun 1795 sampai
dengan tahun 1819.
Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yang sudah mulai
dilanda peperangan antara kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan
bahwa ibukota kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan yang terjadi.[
Setelah terjadi perdamaian antara
Inggris dan Belanda pada tahun 1814, maka Belanda kembali memasuki Padang pada
bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera
dan Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada tahun 1824 dengan Inggris.
Runtuhnya Pagaruyung
Kekuasaan
raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri,
meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke
dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir
selatan
praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada raja
Pagaruyung.
Pada
awal abad ke-19 pecah konflik antara kaum Padri dan kaum Adat. Dalam beberapa
perundingan tidak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu dibeberapa negeri
dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya kaum Padri dibawah pimpinan
Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan
diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Karena terdesak kaum
Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada Belanda, dan sebelumnya
mereka telah melakukan diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles
mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada mereka. Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan
Tangkal Alam Bagagar,
yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang berada di Padang,[20] beserta 19 orang
pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerjasama
dalam melawan kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu
itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung.
Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan
kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda. Kemudian setelah Belanda
berhasil merebut Pagaruyung dari kaum Padri, pada tahun 1824 atas permintaan
Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsyah kembali ke
Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah raja terakhir
Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.
Sementara
Sultan Tangkal Alam Bagagar pada sisi lain ingin diakui sebagai Raja
Pagaruyung, namun pemerintah Hindia-Belanda dari awal telah
membatasi kewenangannya dan hanya mengangkatnya sebagai Regent Tanah Datar.[20] Kemungkinan karena
kebijakan tersebut menimbulkan dorongan pada Sultan Tangkal Alam Bagagar untuk
mulai memikirkan bagaimana mengusir Belanda dari negerinya.[1]
Setelah
menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian berusaha menaklukkan kaum Padri dengan
kiriman tentara dari Jawa, Madura, Bugis dan Ambon.[31] Namun ambisi
kolonial Belanda tampaknya membuat kaum adat dan kaum Padri berusaha melupakan
perbedaan mereka dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada
tanggal 2 Mei 1833 Sultan Tangkal Alam Bagagar ditangkap oleh Letnan
Kolonel Elout di Batusangkar atas
tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang) sampai
akhir hayatnya, dan dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.
Setelah
kejatuhannya, pengaruh dan prestise kerajaan Pagaruyung tetap tinggi terutama
pada kalangan masyarakat Minangkabau yang berada di rantau. Salah satu ahli
waris kerajaan Pagaruyung diundang untuk menjadi penguasa di Kuantan.[ Begitu juga sewaktu Raffles masih bertugas di
Semenanjung Malaya, dia berjumpa dengan kerabat Pagaruyung yang berada di Negeri Sembilan, dan Raffles
bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggapnya masih
keturunan langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan Inggris.[1] Sementara setelah
berakhirnya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh meminta pemerintah
Hindia-Belanda untuk memberikan kedudukan yang lebih tinggi dari pada sekedar Regent
Tanah Datar yang dipegangnya setelah menggantikan Sultan Tangkal Alam
Bagagar, namun permintaan ini ditolak oleh Belanda,[34] hal ini nantinya
termasuk salah satu pendorong pecahnya pemberontakan tahun 1841 di Batipuh selain masalah cultuurstelsel.
Wilayah kekuasaan
Menurut
Tomé Pires dalam Suma
Oriental, tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman Sumatera tempat
dimana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai timur Arcat (antara
Aru dan Rokan) ke Jambi dan kota-kota
pelabuhan pantai barat Panchur (Barus), Tiku dan Pariaman. Dari catatan
tersebut juga dinyatakan tanah Indragiri, Siak dan Arcat merupakan bagian dari tanah Minangkabau,
dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau
tersebut. Namun belakangan daerah-daerah rantau seperti Siak, Kampar dan
Indragiri kemudian lepas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh.[35]
Wilayah
pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah wilayah tempat hidup, tumbuh, dan
berkembangnya kebudayaan Minangkabau. Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan
tambo (legenda adat) berbahasa Minang ini:
Dari
Sikilang Aia Bangih
Hingga
Taratak Aia Hitam
Dari
Durian Ditakuak Rajo
Hingga
Sialang Balantak Basi
Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di
daerah Pasaman Barat, berbatasan
dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah
di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang
Balantak Basi adalah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang. Secara lengkapnya, di dalam tambo dinyatakan
bahwa Alam Minangkabau (wilayah
Kerajaan Pagaruyung) adalah sebagai berikut:
Nan salilik Gunuang Marapi, Saedaran
Gunuang Pasaman, Sajajaran Sago jo Singgalang
Saputaran Talang jo Kurinci
Dari Sirangkak nan Badangkang, Hinggo
Buayo Putiah Daguak, Sampai ka Pintu Rajo Hilia
Hinggo Durian Ditakuak Rajo
Sipisau-pisau Hanyuik, Sialang Balantak
Basi, Hinggo Aia Babaliak Mudiak
Sailiran Batang Bangkaweh, Sampai ka ombak
nan badabua, Sailiran Batang Sikilang
Hinggo lauik nan sadidieh
Ka timua Ranah Aia Bangih, Rao jo Mapat
Tunggua
Gunuang Mahalintang, Pasisia Banda
Sapuluah
Taratak Aia Hitam, Sampai ka Tanjuang
Simalidu
Pucuak Jambi Sambilan Lurah
|
Aparat
Pemerintahan
Adityawarman
pada awalnya menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan
yang ada di Majapahit
masa itu, meskipun kemudian menyesuaikannya dengan karakter dan struktur
kekuasaan kerajaan sebelumnya (Dharmasraya dan Sriwijaya)
yang pernah ada pada masyarakat setempat. Ibukota diperintah secara langsung
oleh raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat.
Setelah
masuknya Islam, Raja Alam yang
berkedudukan di Pagaruyung melaksanakan
tugas pemerintahannya dengan bantuan dua orang pembantu utamanya (wakil raja),
yaitu Raja Adat yang
berkedudukan di Buo, dan Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus. Bersama-sama mereka bertiga
disebut Rajo Tigo Selo, artinya
tiga orang raja yang "bersila" atau bertahta. Raja Adat memutuskan
masalah-masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama.
Bila ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa ke Raja Pagaruyung. Istilah
lainnya yang digunakan untuk mereka dalam bahasa Minang
ialah tigo tungku sajarangan.
Untuk sistem pergantian raja di Minangkabau menggunakan sistem patrilineal[38]
berbeda dengan sistem waris dan kekerabatan suku yang masih tetap pada sistem matrilineal.
Selain kedua raja tadi,
Raja Alam juga dibantu oleh para pembesar yang disebut Basa Ampek Balai, artinya "empat menteri utama". Mereka
adalah:
- Bandaro yang berkedudukan di Sungai Tarab.
- Makhudum yang berkedudukan di Sumanik.
- Indomo yang berkedudukan di Suruaso.
- Tuan Gadang yang berkedudukan di Batipuh.
Belakangan, pengaruh Islam menempatkan Tuan Kadi yang berkedudukan di Padang Ganting masuk menjadi Basa Ampek Balai. Ia mengeser
kedudukan Tuan Gadang di Batipuh, dan bertugas menjaga syariah agama.
Sebagai aparat pemerintahan,
masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-daerah tertentu tempat mereka
berhak menagih upeti sekedarnya, yang disebut rantau masing-masing pembesar
tersebut. Bandaro memiliki rantau di Bandar
X, rantau Tuan Kadi adalah di VII
Koto dekat Sijunjung,
Indomo punya rantau di bagian utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di Semenanjung Melayu,
di daerah pemukiman orang Minangkabau di sana.
Selain itu dalam menjalankan roda
pemerintahan, kerajaan juga mengenal aparat pemerintah yang menjalankan
kebijakan dari kerajaan sesuai dengan fungsi masing-masing, yang sebut Langgam nan Tujuah. Mereka terdiri dari:
- Pamuncak Koto Piliang
- Perdamaian Koto Piliang
- Pasak Kungkuang Koto Piliang
- Harimau Campo Koto Piliang
- Camin Taruih Koto Piliang
- Cumati Koto Piliang
- Gajah Tongga Koto Piliang
Pemerintahan Darek dan Rantau
Dalam laporannya, Tomé Pires telah
memformulasikan struktur wilayah dari tanah Minangkabau dalam darek (land)
dan rantau (sea/coast),[14] walaupun untuk
beberapa daerah pantai timur Sumatera seperti Jambi dan Palembang disebutkan telah
dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa.
Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 nagari, yang merupakan
satuan wilayah otonom pemerintahan. Nagari-nagari ini merupakan dasar kerajaan,
dan mempunyai kewenangan yang luas dalam memerintah. Suatu nagari mempunyai
kekayaannya sendiri dan memiliki pengadilan adatnya sendiri. Beberapa buah
nagari kadang-kadang membentuk persekutuan. Misalnya Bandar X adalah persekutuan
sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala persekutuan
ini diambil dari kaum penghulu, dan sering diberi
gelar raja. Raja kecil ini
bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah
dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri
yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto,
dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem
administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah
disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang
menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari
yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan
tersebut.
Darek
Di daerah Darek atau daerah inti Kerajaan
Pagaruyung terbagi atas 3 luhak (Luhak Nan Tigo,
yaitu Luhak Tak nan Data, belakangan menjadi Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Limopuluah). Sementara pada setiap nagari pada kawasan
luhak ini diperintah oleh para penghulu, yang mengepalai masing-masing suku
yang berdiam dalam nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku, dan warga nagari untuk memimpin dan
mengendalikan pemerintahan nagari tersebut. Keputusan pemerintahan diambil
melalui kesepakatan para penghulu di Balai Adat, setelah dimusyawarahkan
terlebih dahulu. Di daerah inti Kerajaan Pagaruyung, Raja Pagaruyung tetap dihormati walau hanya bertindak
sebagai penengah dan penentu batas wilayah.
Rantau
Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung
daerah Rantau.
Ia boleh membuat peraturan dan memungut pajak di sana. Rantau merupakan suatu
kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi
sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau
dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia
(kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).
Masing-masing
luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Penduduk Tanah Datar merantau ke arah
barat dan tenggara, penduduk Agam merantau ke arah utara dan barat, sedangkan
penduduk Limopuluah merantau ke daerah Riau daratan sekarang, yaitu Rantau
Kampar, Rokan dan Kuantan. Selain itu, terdapat daerah perbatasan wilayah luhak
dan rantau yang disebut sebagai Ujuang Darek Kapalo Rantau. Di daerah
rantau seperti di Pasaman, kekuasaan penghulu ini sering berpindah kepada
raja-raja kecil, yang memerintah turun temurun. Di Inderapura, raja mengambil gelar sultan.
Sementara di kawasan lain mengambil gelar Yang Dipertuan Besar.
Pembagian daerah rantau adalah sebagai berikut: Rantau Luhak Tanah
Data , Rantau Luhak Agam , Rantau Luhak Limopuluah
SATU peninggalan
berharga dari Kerajaan Minangkabau, Sumatera Barat, adalah masih adanya situs
dan artefak yang tersimpan di lokasi semula, yaitu di wilayah Istana Kerajaan
Pagaruyung, sekitar 3 km sebelah utara dari pusat kota Batusangkar.
Sekalipun
istana yang asli sudah terbakar berulangkali, tetapi sudah dibangun kembali
replikanya.
Sekilas sejarah
Kerajaan Pagaruyung, untuk menambah wawasan kebudayaan anak bangsa , bangsa
Indonesia.
0 comments:
Posting Komentar